Senin, 15 Juni 2009

Perang Topat, Ajang Bersatunya Dua Keyakinan Berbeda

Modernisasi dan westernisasi, dua unsur penting yang perlu dihilangkan dalam mengangkat suatu budaya lokal. Kedua unsur ini terkadang masih kuat mendominasi sebagian budaya kita, sehingga timbul pola kebarat-baratan. Namun, bagi even Perang Topat, kedua unsur itu sama sekali tidak ditemukan. Bahkan sebagai ajang tempat bersatunya dua keyakinan berbeda; Hindu dan Islam, bersatunya dua etnis yang hampir berbeda; Etnis Sasak dan Bali. Bagaimana perjalanan even Perang Topat kali ini? Berikut paparannya.

Perang Topat adalah, suatu upacara ritual yang merupakan pencerminan rasa syukur kepada Sang Pencipta, yang telah memberikan kemakmuran dalam bentuk kesuburan tanah, cucuran air hujan dan hasil pertanian yang melimpah. Upacara ini dilaksanakan di Taman Lingsar oleh umat Hindu bersama-sama dengan Suku Sasak, yaitu dengan cara saling melemparkan topat (ketupat) antara peserta yang satu dengan yang lainnya.
Perang topat ini dilaksanakan setelah selesainya Pedande Mapuja, yaitu pada saat Roroq Kembang Waru (bergugurannya kembang waru) sekitar pukul 17.30. Biasanya upacara yang cukup sakral ini dilaksanakan setiap tahun pada bulan Purname Sasi ke pituq menurut kalender Sasak, atau sekitar bulan Desember.
Taman Lingsar, sebagai tempat upacara ini, terletak di sebelah Utara Narmada. Dulunya masih sebagai wilayah hukum Kecamatan Narmada. Namun setelah terjadi pemekaran wilayah kecamatan, maka tempat ini sudah depinitif sebagai wilayah kecamatan sendiri, yaitu Kecamatan Lingsar. Di Taman inilah terdapat pura dan merupakan tempat pemujaan yang berdampingan antara pemeluk agama Hindu (Bali) dan Islam (Susu Sasak).
Suku Sasak sendiri yang beragama Islam, bersama-sama umat Hindu pada awal musim penghujan pada akhir bulan Nopember atau awal Desember, di tempat ini dilaksanakan upacara “Perang Topat”.
Kronologis upacara ini, diawali dengan upacara persembahyangan di tempat pemujaan masing-masing. Kemudian mereka memasuki lapangan di luar tempat pemujaan dan dilanjutkan dengan saling melempar menggunakan ketupat antara para peserta upacara. Masyarakat setempat meyakini bahwa, upacara ini akan memberi berkah dengan turunnya hujan. Sementara masyarakat yang lain menyebutkan bahwa, upacara ini dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur atas hujan yang dikaruniakan oleh Tuhan bagi kemakmuran hidup mereka. Karena itu dilaksanakan pada awal musim penghujan.
Melihat daur hidup masyarakat Lombok Barat ini, memang sekilas sarat dengan budaya lokal yang kuat. Tak ada sentuhan unsur westernisasi ataupun modernisasi di dalamnya. Tak ada sikap kebarat-baratan yang mampu menggerogoti dan memangkas kearifan budaya lokal kita. Perang Topat yang sakral dan satu-satunya di dunia ini, tetap eksis mengangkat harkat kearifan budaya lokal, khususnya budaya masyarakat Lombok Barat.
Even lebaran topat ini merangkul dua sisi sekaligus. Di satu sisi, mengangkat unsur pariwisatanya, khususnya pariwisata Lombok Barat sehingga, dapat menambah nilai plus bagi angka kunjungan wisatawan. Lebih-lebih gelaran yang menjadi agenda tahunan ini, sengaja digelar pada lokasi wisata pilihan Lombok Barat yakni, Pura Lingsar yang dinilai cukup strategis.
Tradisi Perang Topat ini, dapat menjadi salah satu even wisata yang khas di Lombok Barat. Karenanya, perlu dijaga kelestariannya dan menjadi tanggung jawab bersama. Senantiasa berupaya menciptakan situasi yang aman dan kondusif, kendati situasi politik di daerah ini masih dikatakan belum stabil. Namun, semangat membangun senantiasa bergelora, sehingga bisa menjaga prilaku dan perbuatan.
Sisi lain dari even Parnag Topat ini adalah, mengangkat harkat kearifan budaya lokal. Karena kandungan isi dari even ini, sarat dengan sakralisme yang kuat. Hubungan dengan Tuhan antara dua keyakinan (Hindu dan Islam) tetap mendominasi, tanpa saling mempengaruhi satu sama lain. Hubungan dengan Tuhan ini terlihat dari prosesi bersembahyang di Pura Lingsar, baik bagi penganut Hindu maupun Islam. Bagi umat Hindu, melakukan kegiatan religius di Pura Gaduh, sementara bagi umat Muslim melakukan ibadahnya sesuai dengan ritus agamnya yaitu, Kemalik. Di sini merupakan tempat sakral bagi suku Sasak yang beragama Islam. Sebelum hari H, sudah ada acara haul dirangkai dengan membaca ayat suci Al Qur’an, Zikrullah, Selawat dan Do’a.
Konon di Kemalik ini bagi umat Islam, merupakan sebuah kawasan yang diyakini sebagai tempat nenek moyangnya menerima dan menghayati kebenaran agama tauhid yang dibawa oleh tiga orang ulama yang berasal dari Jawa. Di situs itulah awal mula nenek moyang mereka mengenal “Al Malik” adalah Tuhan Yang Esa, yang hidup dan berdiri dengan sendiri-Nya. Tiga orang ulama tempat nenek moyang mereka menerima kebenaran Agama Tauhid adalah, Raden Mas Kerta Jagad, Raden Mas Kerta Pati dan Raden Ayu Mas Dewi Anjani. Ketiganya kemudian dinobatkan sebagai raja yang kemudian disebut Datu Telu Besanakan (Raja bersaudara tiga). Memang, dalam even Perang Topat ini, toleransi beragama sangat kental terasa.
Hal lain yang terasa dalam even tahunan bagi Diparsenib Lombok Barat adalah, bersatunya dua etnis; Sasak dan Bali. Mereka tumpah ruah, bukan hanya sejedar mengikuti prosesi acara seremonial saja, melainkan sekaligus sebagai ajang mencari pasangan hidup. Karena tak jarang, para pengunjung hadir di tempat ini sekaligus bernostalgia. Karena dulu mereka dapat jodoh melalui Perang Topat ini.
Perang Topat yang dirangkai dengan prosesi saling lempar dengan ketupat, dilakukan langsung oleh masyarakat dan pengunjung. Mereka sengaja datang dari berbagai daerah di Pulau Lombok.
“Saya datang ke sini, bernazar minta kesehatan” tutur Inaq Alimah yang sengaja datang dari Sukarara, Lombok Tengah sana. Mereka hadir lengkap dengan busana khasnya, ‘Lambung’. Sementara pengakuan Inaq Muhtar dari Lingsar Lendang mengatakan, jangan coba-coba melakukan ritual “ngaturang” dua kali, karena kegiatan ini hanya dilakukan sekali dalam setahun. “Pernah ada warga yang mengulangi melakukan ritual, keluarga mereka terus sakit-sakitan” tutur wanita tua ini meyakini.
Oleh Diparsenibud Lobar, dalam rangka mengangkat tradisi ini, diharapkan memberikan keyakinan kepada generasi penerus untuk menerima estapet perjuangan. Tetap yakin bahwa, Perang Topat adalah ajang berkeyakinan, ajang berbudaya, ajang silaturahim dan tak kalah pentingnya, ajang mencari jodoh. Inilah keunikan tradisi budaya kita, Perang Topat.
Sementara pihak Pemuda Lingsar yang tergabung dalam Persatuan Pemuda Lingsar (PPL) turut berharap. Antara umat Hindu dan Suku Sasak di Lingsar, masing-masing pihak memiliki toleransi yang dalam, sehingga melahirkan sebuah akulturasi yang sensasional, spektakuler, unik dan langka. Tiada duanya di dunia, melainkan hanya ada di Lingsar, Lombok Barat.
“Ini yang perlu kita jaga dan lesatrikan bersama” harap Ketua PPL dan DPC PAN Lingsar, Sahirman, HK. (L.Pangkat Ali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar