Senin, 15 Juni 2009

Meringkas Sejarah “Rorok Kembang Waru” Dalam Perang Topat


Sedikit yang tahu bahwa, di Lingsar berdiri bangunan peninggalan sejarah masa lalu yang monumental. Ini merupakan buah karya seorang raja dan Permaisuri yang sangat arif dan bijaksana, berwawasan luas, bersemangat patriotisme dan berpandangan hidup jauh ke depan. Hal ini telah mkelahirkan sebuah fenomena sejarah untuk diwariskan kepada generasi penerusnya yang terdiri dari dua umat berbeda keyakinan, etnis dan tradisi yaitu, umat Suku Bali yang beragama Hindu dan umat Suku Sasak beragama Islam.
Pura Gaduh dan Kemalik Lingsar, merupakan sebuah momen spektakuler, mampu menarik perhatian dunia dan para ahli, karena dua umat berlatar belakang dan kultur yang berbeda, mampu hidup berdampingan, saling menghargai dan menghormati.
Menurut seorang tokoh Pemuda yang tergabung dalam Persatuan Pemuda Lingsar (PPL), Sahirman, HK, kepada Perspektif, mengutip penjelasan seniornya Soeparman Taufik bahwa, Konon ada tiga orang Ulama yang menyebarkan kebenaran Agama Islam saat itu. Mereka adalah Raden Mas Kerta Jagad, Raden Mas Kerta Pati dan Raden Ayu Mas Dewi Anjani. Mereka kemudian dinobatkan sebagai raja yang disebut Datu Telu Besanakan. Raden Mas Kerta Jagad sendiri diberi gelar Pemban Pengerakse atau Pengemban Jagad Haji Abdul Malik. Kemudian Raden Mas Kerta Pati, diberi gelar Pengiring Pemban Pengerakse Jagad Haji Abdul Rauf dan gelar Pengabih bagi Raden Ayu Mas Dewi Anjani.
Dari situs Kemalik Lingsar, Datu Telu Besanakan membagi tugas dakwahnya masing-masing. Pengerakse Haji Abdul Malik, tetap tinggal di Lingsar. Pengiring Pemban Haji Abdul Rauf melakukan dakwah ke Bali Utara sekitar kawasan Gunung Agung. Sementara Pengabih Pemban Dewi Anjani melanjutkan dakwahnya ke Gunung Rinjani. Beliau tertarik melakukan ajaran Syariat Islam kepada Jin. Pembagian tugas dakwah mereka, dimulai setelah terjadi sebuah fenomena alam yang sangat sensasional. Ini terjadi dan berlangsung di areal Kemalik Lingsar yang kemudian dikenal dengan sebutan “Rorok Kembang Waru”.
Peristiwa Rorok Kembang Waru ini, suatu kejadian luar biasa yang menunjukkan keramahan Pemban Pengerakse Jagad Haji Abdul Malik, dimana pada suatu malam yang cerah, bulan mengembang dengan cahaya yang terang diiringi bintang yang berkelip, Hamba Allah ini sedang berselawat dengan khusu’ disebuah lembah di kaki bukit yang tandus dan gersang. Hanya sebatang pohon waru yang bisa bertahan hidup di tempat itu. Sesaat kemudian Pemban Pengerakse Haji Abdul Malik, setelah selesai berzikir, ia berdiri dan menghampiri batang pohon waru itu. Dengan membawa tongkat, ia lalu menancapkannya ke dalam tanah. Sesaat kemudian dicabutnya tongkat itu, dan dengan Kun Fayakun Allah SWT, tiba-tiba sebuah mata air yang besar, mengalir dengan derasnya dari bawah pohon waru di kaki bukit yang gersang itu.
Berbarengan dengan itu, kembang-kembang waru ditempat itupun berguguran, sehingga kejadian itu disebut “Rorok Kembang Waru”. Sesaat kemudian langit berubah mendung, kilat menyambar, kemudian mencurahkan hujan yang begitu besar, bagaikan begitu saja dituangkan dari langit. Sejak itulah, nama Lingsar mulai terdengar. Sebab Lingsar berasar dari kata “Ling” yang artinya “Ongkat/Uni” dalam bahasa Sasak. Sementara kata “Sar” berarti “Bunyi desiran air yang keras” Jadi Lingsar berarti, “Suara Air”
Fenomena ini kemudian diperingati tiap tahun, sejalan dengan Pemban Pengerakse Jagad Haji Abdul Malik masih berada disitus Kemalik hingga sekarang. Peristiwa tersebut berlangsung, saat purnama sasih ke pituq, menurut kalender Sasak. Dan untuk mengabadikan perjalanan sejarah dari keberadaan datu Telu Besanakan, agar tetap diingat dan dikenang, maka umat membangun sebuah tarian bernama tarian Batek Baris, lengkap dengan hulu balangnya. Tarian ini merupakan personafikasi dari Pengiring Pengabih Pemban Pengerakse Jagad Haji Abdul Malik.
Selanjutnya sebagai rasa syukur bagin umat Sasak pengikut datu Telu Besanakan, setiap purnama sasih ke pituq, diadakan ritual berupa haulan yang diisi dengan membaca ayat suci al quran, zikrullah, selawat dan doa. Sedangkan ritual budayanya, secara simbolis diapresiasikan dalam sebuah pragmen kolosal dilanjutkan dengan acara “Perang Topat”
“Itulah sekelumit dari perjalanan Rorok Kembang Waru dalam Perang Topat ini” kata sahirman, HK menutupi bincang-bincangnya dengan Perspektif di Lingsar. (L.Pangkat Ali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar