Senin, 05 Oktober 2009

Kades Bebuak Siap Kembalikan Uang Warga

Kepala Desa (Kades) Bebuak, Kecamatan Kopang, Lalu Ibnu Umar menyatakan, siap bertanggung jawab atas penarikan uang pendaftaran sertifikat tanah Proyek Nasional (Prona) untuk jatah tahun 1997. Penarikan uang pendaftaran tersebut, dilakukan awal tahun 2006 silam. Dan itu berdasarkan permintaan Kantor BPN Loteng. Namun sampai berita ini dibuat, realisasi pengukuran tanah bagi 75 orang warga Bebuak, belum juga ada tanda-tanda menggembirakan. Akibatnya, sejumlah warga desa setempat, menduga kadesnya melakukan tindakan penipuan. “Kita hantam dulu lewat media, kalau tak ada reaksi, baru kita polisikan,” ancam salah seorang warga yang enggan dikorankan namanya.
Ditemuai di kediamannya Selasa (6/10), Ibnu Umar juga menyatakan siap mengembalikan uang pendaftaran tersebut. Kendati besarannya berpariasi, dari Rp.300 – 400 ribu, namun Ibnu mengakui, uang tersebut sudah diserahkan kepada Kepala Dusun (Kadus) Geria, Yunus. Karena menurut Ibnu, Yunuslah yang dipercayakan untuk mengelola dan mengantar uang tersebut ke BPN Loteng. Tapi apa lacur? Pihak BPN sendiri menolak uang pendaftaran tersebut. Alasannya, masih banyak daftar tunggu yang sampai saat ini belum bisa tertangani sertifikatnya.
Lebih lanjut dikatakan Ibnu, konflik ini sebenarnya tak lepas dari unsur kecemburuan sosial dari sejumlah oknum warganya. Selentingan ini sering masuk melalui pesan singkat (SMS) ke ponselnya. Ibnu juga yakin, kecemburuan ini lantaran, pihaknya memiliki sebuah kendaraan roda empat. Asumsinya, seorang kades yang nota bene baru kemarin menjabat, sudah memiliki kendaraan mewah roda empat. “Mungkin itu dugaannya, sehingga mereka sering main duga-dugaan,” katanya sembari menambahkan, padahal mereka sudah tahu, status awal kadesnya adalah seorang PNS. Kata Ibnu, terhadap Anggaran Dana Desa (ADD) sebesar Rp.150 juta, tidak mungkin bisa dimanipulasi maupun di korupsi. Karena peruntukannya sudah jelas. Paling-paling ada sisa kurang dari Rp.40 juta. “Sisa ini tidak cukup untuk fisik,” jelasnya.
Ditambahkan kades yang low frofile ini, dirinya bersama Ketua BPD akan segera melakukan klarifikasi. Termasuk memanggil sejumlah warganya yang ikut dalam pendaftaran. “Dalam waktu dekat kita akan klarifikasi,” ungkapnya. Tapi klarifikasi sebelumnya sudah dilakukan pihak BPD. Lembaga ini sudah memanggil Kadus Geria, Yunus untuk diminati keterangannya. Yunuslah yang lebih tahu soal ini, termasuk soal keuangannya.
Sementara di tempat terpisah, Kadus Geria, Yunus dengan polos mengakui, uang pendaftaran sertifikat tersebut memang pernah diantar ke BPN Loteng. Tapi pihak BPN menolak menerima uang tersebut karena proses sertifikasi masih pada daftar tunggu. Bagi Yunus sendiri, uang pendaftaran yang dibawanya, justru tidak dikembalikan ke Bendahara desa. Melainkan dikelola untuk modal tembakau dan jual beli sapi. Uang yang dibawa Yunus lebih dari Rp.12 juta. Namun ia berjanji tetap akan menggantinya. “Uangnya masih saya bawa,” celoteh Yunus, padahal uang tersebut mengendap hampir tiga tahun lamanya.

Minggu, 04 Oktober 2009

Uang Pendaftaran Rp.500 Ribu, Pedagang Pasar Kopang Mengeluh

Seperti dilansir media sebelumnya, terkait rencana pembangunan Pasar Raya Kopang Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, sejumlah oknum diduga mulai main ‘kucing-kucingan’ untuk tujuan kepentingan individu. Kesempatan ini tak disia-siakan. Justru sasarannya adalah para pedagang dan calon pedagang. Untuk bisa menempati rumah toko (ruko) yang akan dibangun, mereka terlebih dahulu membayar pendaftaran sebesar Rp.500 ribu/orang. Puluhan pedagang sudah melunasi kewajibannya. Akibatnya, tidak sedikit pedagang yang mengeluh, terutama pedagang bakulan. Padahal belum jelas, kapan rencana pebangunan fisik Pasar Raya Kopang ini. Termasuk relokasi pedagang serta sosialisasi yang belum ada kepastian.
Camat Kopang, Lalu Bagiartha, SIP saat ditemui di kantornya membenarkan, saat ini pihak kontraktor PT. Trisamaya Prana Cipta (TPC), tengah melakukan pendaftaran bagi pedagang yang akan menempati ruko. Namun Bagiartha tidak tahu, berapa nominal uang pendaftarannya. “Itu soal tehnis, saya tidak tahu nominalnya berapa,” ungkapnya di ruang kerjanya, Sabtu (03/10). “Silahkan tanya di kantor pemasarannya,” lanjut pria yang akrab disapa Mamiq Giot ini.
Hal lain yang diduga sarat kejanggalan adalah, selebaran yang berganti-ganti. Selebaran tersebut tanpa dibubuhi tanda tangan penanggungjawab perusahaan TPC. Yang ada hanya nama dan stempel perusahaan. Termasuk juga kwitansi pendaftaran, tanpa dibubuhi stempel dan tanda tangan penerima uang.
Melihat kejanggalan ini, Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Kopang, Lalu Kamran, segera melakukan klarifikasi. Pihaknya mengimbau kepada seluruh pedagang maupun calon pedagang Pasar Kopang, agar menanyakan identitas oknum yang melakukan transaski pendaftaran. Kejelasan legalitas mereka harus riil. “Ini kan belum ada sosialisasi dari pemerintah,” paparnya sembari menambahkan, jika semua sudah balant, legalitas oknum pendaftarnya jelas, kapan pedagang direlokasi serta kapan sosialisasi digelar, pasti semuanya tidak akan timbul masalah.
Yang lebih disayangkan Kamran adalah, mereka para pedagang bakulan musiman. Semua kena Rp.500 ribu. Nilainya disamakan dengan pedagang kios yang nota bene memiliki modal dan investasi cukup besar. “Ini kan ndak adil” katanya. Sementara pihak PT.TPC yang ingin dimintai keterangan, sampai berita ini dibuat belum ada di Kantor Pemasaran. “Pak Made masih di Mataram,” kata salah seorang yang diduga sebagai ‘garden boy’ PT.TPC.

Terhadap Harga Ruko, Asosiasi Pedagang Belum Tentukan Sikap

Koperasi Unit Desa (KUD) Utama Kopang, Kecamatan Kopang, Loteng, tengah melakukan pendekatan dengan Asosiasi Pedagang Pasar Kopang. Maksudnya, untuk memberikan masukan terhadap harga jual rumah toko/ruko yang akan dibangun. Namun pendekatan tersebut masih dihindari pihak asosiasi. Alasannya, pembangunan ruko yang dikelola KUD belum ada titik terang. Alasan lain, pihak pemda belum juga memberikan sosialisasi terhadap mereka.
Kendati begitu, KUD telah membagikan selebaran kepada pedagang. Isinya berupa daftar harga jual ruko yang rencananya akan dibangun melalui proyek Pembangunan Pasar Raya Kopang. Tapi belakangan diketahui, konflik internal antara kontraktor dengan KUD, belum juga menemukan ‘hapy ending’.
Melihat realitas ini, pihak asosiasi pedagang belum menentukan sikap. Karena harga jual ruko yang ditawarkan KUD dinilai memberatkan. “Ini belum final, kami belum memberikan kepastian kepada pengelola pembangunan ruko,” papar Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Kopang, Lalu Kamran di Kopang, Sabtu (3/10).
Bagi Kamran sendiri, keputusan ini diambil berdasarkan rapat anggota para pedagang beberapa waktu lalu. Disimpulkan, sambil menunggu legalitas dari asosiasi, pihaknya tengah melakukan koordinasi dengan salah seorang anggota dewan. Karena proyek ini sudah mulai diendus sejumlah anggota dewan dapil Kecamatan Kopang-Janapria.
Dijelaskan Kamran, harga jual ruko memang berpariasi sesuai tipe. Untuk tipe A (90x45 m2) dipatok Rp.98,7 juta. Tipe B (70x40 m2) Rp.65 juta, tipe C (60x40 m2) Rp.60 juta dan tipe C (50x45 m2), dihargakan Rp.47,5 juta. Dari patokan masing-masing harga ini, dibebankan uang muka sebesar 20 persen dengan sistim cicilan. Sedangkan sisa nilai kredit dari harga ruko, bisa diangsur selama 5, 10 dan 15 tahun. “Kita tunggu petunjuk dari dewan, termasuk berkaca pada ruko pasar Renteng,” ungkap Sekretaris Asosiasi Pedagang Kopang, H.Lalu Alan saat rapat anggota berlangsung.
Sementara di tempat terpisah, Ketua KUD Utama Kopang, Lalu Najwa,SH mengemukakan, pihaknya telah memiliki komitmen, termasuk meminta penjelasan pihak kontraktor (PT.TPC), kapan mereka mulai beraktivitas. Kata Najwa, jika perusahaan tersebut belum juga bisa dihubungi, lebih-lebih saat ini perusahaan tersebut berada di Bali, maka Najwa terpaksa menyiapkan investor lain. Saat ini lanjut Najwa, sudah ada dua lembaga yang menyatakan siap berinvestasi. Lembaga tersebut adalah Bank Bukopin dan Muamalat. “Kami tidak akan mempersulit pedagang, justru kami akan membiayai relokasi mereka” katanya sembari memperjelas, biaya yang dimaksud adalah, pedagang yang terkena relokasi, akan diberikan masing-masing Rp.1 juta untuk biaya pindah.

Kamis, 27 Agustus 2009

Kasus Penganiayaan Tetangga Diperiksa Penyidik


Kasus penganiayaan yang dilakukan Baiq Miah (35) terhadap tetangganya, Sukati (40) sudah diperiksa Penyidik Polsek Kopang. Kedua ibu rumah tangga yang beralamat di Dusun Batako, Desa Kopang Rembiga Kecamatan Kopang ini, Minggu telah memenuhi panggilan Kaplosek Kopang. Secara terpisah mereka memberikan keterangan kepada Penyidik I Wayan Yudastrawan. Sedikitnya, belasan pertanyaan yang diajukan Penyidik sudah dijawab pelaku maupun korban.
Penganiayaan yang dilakukan pelaku terhadap korban, mengakibatkan korban menderita luka memar dibagian jidat dan pipi. Ini dibuktikan dengan visum dokter Puskesmas Kopang pada hari Kamis 20 Agustus 2009 lalu. Penganiayaan yang terjadi pada hari itu juga, mengakibatkan aktivitas korban sehari-hari menjadi terganggu. “Selama dua hari saya masih pusing karena dipukul di bagian belakang kepala saya” kata korban sembari menambahkan, dirinya dianiaya korban di halaman rumahnya sendiri.
Awal kejadian kata korban, bermula dari ketersinggungannya, karena setiap kali lewat di depan rumah pelaku, korban selalu mendengar umpatan yang tidak enak didengar. “Memang dia (pelaku, red.) menyimpan dendam cukup lama pada saya” tambahnya. Namun yang terakhir ini, saat pelaku menyindir dengan kata yang kotor, korban sempat melihat disekitar itu, tak ada siap-siapa. Korban hanya berdua dengan anaknya. Sedangkan pelaku duduk di teras rumahnya sambil mengumpat. “Umpatan itu ditujukan kepada siapa lagi selain saya?” kata korban penuh pertanyaan.”Peristiwa ini pun terjadi sepekan yang lalu” tambahnya.
Dan saat itu juga korban menceritakan kasusnya kepada tetangga sebelah. Tetangga inilah yang menyampaikan, sekalian menasihati agar korban jangan mengeluarkan kata-kata kotor. “Bukannya mau dinasihati, malah dia datang memukul orang” kata tetangga, Atik Bengik yang sempat melerai pelaku dan membawanya pulang. Atik Bengik juga dilibatkan sebagai saksi kunci dalam kasus ini.
Namun tanpa disadari korban, tiba-tiba pelaku mendatangi rumah korban yang baru saja pulang dari tempat acara hajatan. Serta merta pelaku langsung memukul dan mengumpat korban berkali-kali. Akibatnya, korban menderita luka memar dibagian dahi, pipi dan tangan bekas cakaran kuku pelaku. Ditambah trauma, ketakutan anak korban yang baru berumur tiga tahun. “Anak saya juga gemetaran, ketakutan” kata korban.
Karena merasa sakit akibat pukulan pelaku, korban langsung berteriak minta tolong. Akibatnya dua orang tetangga, termasuk Atik Bengik datang melerai penganiayaan itu.
“Pelaku melanggar pasal 352 KUHAP, tentang penganiayaan ringan” kata Wayan Yuda. Agenda selanjutnya, akan didengar keterangan dari saksi. “Tinggal giliran saksi yang akan kita panggil” akunya

Rabu, 05 Agustus 2009

SDM Masyarakat Sasak-Lombok di Bidang Seni Budaya

HAMPIR disetiap cabang seni budaya, masyarakat Sasak di pulau Lombok memiliki ciri khas tersendiri. Kita tahu bahwa, berbagai jenis seni karawitan, pewayangan/pedalangan, seni tari, seni musik, seni ukir, seni beladiri dan seni sastra, memiliki tempat tersendiri di hati masing-masing orang Sasak.
Seni karawitan seperti rebana, gendang beleq, kelentang dan tawaq-tawaq, menggunakan gending yang tak jauh beda dengan gendang Bali dan Jawa. Cuma bedanya, terletak pada jumlah personil (sekahe) yang memainkan alat-alat instrumen gong gamelan Sasak yang tidak terlalu banyak, namun menghasilkan instrumental yang ramai. Kita ambil gong gamelan (karawitan) yang mengiringi seni pedalangan wayang kulit. Jumlah personilnya cukup 7-8 orang. Begitu pula dengan gong gamelan yang mengikuti permainan peresaian (saling pukul dengan rotan), dengan personil cukup antara 4-5 orang.
Di bidang seni musik cilokaq, digemari sebagai tontonan rakyat maupun tontonan para wisatawan yang berkunjung. Ada pula seni teater tradisional seperti Cupak-Gerantang yang ceritanya diambil dari takepan Doyan Nada, sebuah cerita panji yang berkembang pada masa kebesaran Jenggala-Kediri dan Kahuripan di Jawa Timur. Begitu pula dengan seni teater tradisional rudat. Teater ini, pada masa sebelum mereka sampai tahun 1950-an, pernah berjaya sebagai tontonan rakyat yang menarik dengan nama rudat kumidi. Cerita-cerita yang dibawakan kebanyakan diambil dari cerita hikayat. Kalau kita ikuti perjalanan sejarah seni rudat, lebih-lebih dengan cerita komedi, maka seni ini berkembang sebagai budaya Islam di Lombok yang berasal dari Hindustan (Turki) pada masa kejayaan Islam Turki Usmani. Banyak jenis seni budaya Sasak yang masih terpelihara dengan baik. Bila dikemas dan dipersiapkan dengan baik, lalu ditangani secara professional, akan mendatangkan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan Nusantara (wisnu) dan wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Lombok. Untuk kerjasama dengan instansi terkait (Diparsenibud) serta pihak-pihak yang mengelola kegiatan yang berhubungan dengan wisatawan, seperti hotel-hotel dan restoran, seniman, budayawan, guide serta seluruh komponen masyarakat, sangat diperlukan.
Seni budaya Sasak sesungguhnya merupakan potensi yang paling dapat diandalkan menjadi pemicu kegiatan ekonomi lainnya di bidang pariwisata di Lombok. Selain bidang seni, tidak kalah mutunya dibandingkan dengan hasil masyarakat luar. Hasil seni kerajinan anyaman, ukiran yang tumbuh dan berkembang di berbagai daerah di Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur, cukup diminati para wisatawan asing.
Di Lombok Barat sendiri memberi gambaran bahwa, kerajinan anyaman, ukiran, seni keramik penghasil gerabah, mulai dari yang kecil bisa dimasukkan ke dalam saku hingga yang memerlukan peti jika akan diangkut ke luar negeri (export), telah dapat dipersiapkan para pedagang.
Di bidang seni desain yang berhubungan dengan motif-motif kain tradisional, beberapa daerah seperti Sukarara, Sade (Lombok Tengah), kain tenuh Gumise, Bayan (Lombok Barat), Sakra, Suwangi (Lombok Timur), sesungguhnya daerah-daerah andalan. Lebih-lebih kemampuan mengolah bahan kain secara tradisional mulai dari memintal benang hingga pewarnaan, lalu menenunnya menjadi berbagai motif. Pengetahuan ini dimiliki oleh oleh orang-orang Sasak sejak dulu.
Sejak zaman dahulu, Lombok terkenal sebagai penghasil tenun, kayu sepang dan kapas yang menjadi bahan export. Demikian pula untuk menghasilkan kain-kain yang bercorak tradisional. Lombok dikenal dengan songket ragi genep, bintang empat, rembang dan subahnala. Kini, jenis kain-kain tersebut begitu diminati para wisatawan, sehingga apabila sumber daya yang ada di Lombok dewasa ini mengoptimalkan usahanya di bidang tenun tradisional tersebut, berarti tingkat kemajuan ekonomi bakal menjadi meningkat.
Hanya saja ada permasalahan, kegiatan menenun secara tradisional masih merupakan pekerjaan sampingan dari kalangan yang terbatas. Yang bekerja di bidang ini, terbatas pada orang-orang wanita. Dengan demikian hasil yang didapat belum optimal.
Kaitannya dengan pekerjaan kalangan terbatas, pihak instansi terkait (Diparsenibud) telah melakukan terobosan, guna mengantisipasi kebiasaan tersebut. Upaya sosialisasi dan realisasi telah dilaksanakan sehingga, berangsur-angsur kebiasaan pekerjaan sampingan dari kalangan terbatas bisa terkikis. Di Lombok Barat sendiri, pemda setempat sudah mengupayakan kain tenun Dusun Gumise, Desa Sekotong Timur Kecamatan Lembar sebagai kostum uniform pada hari kerja Sabtu. Dengan demikian, Sumber Daya Manusia (SDM) dibidang seni budaya tetap terpelihara, sekaligus terpeliharanya SDM yang berkualitas. Kesimpulannya, pengembangan pariwisata harus didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang menjurus kearah sikap profesionalisme. (L.Pangkat Ali)

Selasa, 28 Juli 2009

ANDANG-ANDANG

Andang-andang dalam istilah suku Sasak adalah, semacam simbol untuk memulai sebuah pekerjaan. Andang-andang terdiri dari lekes (daun sirih dan buah pinang) sebanyak sembilan buah, tembakau dan sembilan batang rokok, kepeng bolong 225 keping, beras, sebutir telur ayam kampung dan benang segelinting (segulung benang) yang ditempatkan dalam media penginang kuning (semacam baskom kecil terbuat dari kuningan).
Pekerjaan yang harus dimulai dengan andang-andang adalah, menikah, membuat rumah, meminta obat kepada belian atau dukun, belajar ilmu pengetahuan atau memwarisi sebuah mantera, menenun kain lempot umbak (kain khusus untuk menimang bayi yang biasanya dimiliki secara komunial oleh sebuah keluarga besar), dan menggali tanah kubur bagi seorang yang meninggal. Andang-andang ini disiapkan oleh orang tua yang sudah memiliki cucu. Nominal sembilan pada lekes dan rokok adalah simbol lubang pada anatomi tubuh yang harus dijaga agar penyakt tidak masuk ke dalam tubuh banusia.
Andang-andang adalah simbol bagaimana sebuah pekerjaan dikerjakan dengan fokus dan selaras dengan niatan awalnya; sebagaimana makna andang-andang yakni, menyatukan niat/kehendak dan perbuatan/pekerjaan agar niat dan pekerjaan tersebut tidak melenceng serta selalu berjalan mulus. Pada dunia moderen, mungkin hal ini bermakna fokus pada sebuah pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada konteks penggunaannya yaitu untuk menandai sebuah pekerjaan yang berhubungan dengan hidup dan mati. Tak heran, jika kemudian tradisi andang-andang menjiwai masyarakat Sasak yang terkenal sebagai pekerja keras.
Andang-andang bukan sebuah tradisi membayar pekerjaan; upah, meskipun disana ada uang. Ia domain faktor dari sebuah pekerjaan. Tanpa kehadiran andang-andang, sebuah pekerjaan tidak bisa dimulai, seorang tukang tidak akan berani memulai pekerjaannya jika dihadapannya belum tersedia/hadir andang-andang. Karena memulai pekerjaan tersebut, tanpa didahului oleh simbol andang-andang, berarti telah memulai pekerjaan dengan terburu-buru atau tanpa arah, niat dan fokus yang jelas. Dari sini kita bisa melihat pemaknaan masyarakat Sasak dalam memahami etos kerja. Mereka selalu memulai pekerjaan dengan prinsip kehati-hatian dan mengutamakan fokus dan konsentrasi dalam pengerjaan pekerjaannya.

Minggu, 19 Juli 2009

Mitos-Mitos Dalam Keseharian Suku Sasak

Seringkali mitos-mitos dalam suku Sasak dihubungkan dengan akibat yang menyeramkan, sehingga banyak anggota penganut suatu budaya yang tidak mau mengambil resiko, memilih menurut saja pada mitos yang berlaku. Di samping itu, terdapat banyak mitos yang terkait dengan basis etik dan tata nilai supranatural yang tidak boleh dilanggar/dilakukan.
Beberapa mitos ini (walaupun tidak terkait dengan sejarah tertentu), namun dianggap memiliki efek mistik (seperti kualat, mamali dan lain-lain) yang cukup kuat bila dilanggar. Maka masyarakat Sasak senantiasa menghindarinya. Berikut ini, ada beberapa mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Sasak.

Lewat di Penjemuran

Di rumah orang Sasak, tempat menjemur pakaian diatur pada ruang (space) tersendiri di bagian pojok yang tidak dipakai sebagai lalu lalang orang. Pengaturan ini dilakukan berkaitan dengan fungsi penjemuran yang digunakan untuk menjemur pakaian dari jenis apa saja, bahkan hingga pakaian gombal atau celana dalam. Fungsinya yang terlalu umum menyebabkan orang Sasak berpantang lewat di penjemuran karena dipercaya dapat menghilangkan ilmu kedigdayaan yang dimiliki (Sasak: campah).

Transaksi Malam hari

Hingga kini sama sekali tidak diketahui atau tidak ada yang berusaha menyingkap alasan tidak dibolehkannya transaksi mengeluarkan uang pada malam hari. Mitos ini terutama banyak dianut di desa-desa, tetapi sudah tidak lagi dianut oleh masyarakat kota. Tapi lebih baik dipertimbangkan untuk menagih utang di malam hari karena sangat berpeluang untuk tidak dibayar. Begitu pula dengan jual beli atau pinjam meminjam peralatan yang terbuat dari bahan besi, banyak yang tidak melakukannya di malam hari. Satu-satunya alas an yang masuk akal, mengapa dihindari transaksi malam hari, mungkin berkaitan dengan keraguan, kalau-kalau terjadi salah hitung (untuk uang) atau dapat menimbulkan cidera kalau melakukan transaksi yang berhubungan dengan besi jika dilakukan malam hari.

Ketika Sandikale

Sandikale adalah waktu antara matahari akan tenggelam, tetapi belum tiba waktu magrib. Pada waktu ini, langit memancarkan sinar kemerahan. Merupakan saat-saat pergantian dari siang menuju malam. Pada saat ini, segala bentuk permainan kesenangan dilarang terus berlanjut. Alasan yang dikemukakan untuk mendukung mitos ini, bermain pada saat itu dapat mendatangkan penyakit, padahal secara alami pada saat itu memang cuaca akan gelap, waktu untuk sholat magrib akan tiba yang dilanjutkan dengan waktu untuk makan malam.

Sabtu, 11 Juli 2009

KONSEP DAN MAKNA SIMBOLIS TRADISI SUKU SASAK

Sesekali kita tentu pernah menghadiri upacara tradisional masyarakat suku Sasak di Lombok. Umpamanya upacara daur hidup seperti cukuran bayi, khitanan atau pengantin. Ada pula upacara kematian dan upacara agama.
Di sana kita sering temukan ada piranti tradisional seperti beras kuning, kemenyan, gula kelapa dan lain-lain. Seseorang yang merasa sok alim, lalu berbisik; “syirik”. Benrkah demikian?
Mari kita coba telusuri pilosofi apa sebenarnya pada benda-benda tersebut. Apa pilosofi yang lahir dari kearifan rakyat jelata ini sebenarnya. Kita lihat misalnya beberapa saja sebagai contoh seperti di bawah ini.

Beras Kuning.
Beras kuning yang dicampur dengan bunga setaman dan beberapa uang, biasa dihadirkan pada aneka upacara (ritus) kehidupan. Misalnya pada upacara selamatan rumah, cukuran bayi (ngurisan), khitanan, pengantin dan agama. Berlandaskan pikiran-pikiran kuno yang animistik, dinamistik atau mungkin hinduistik, kita lalu cepat menapsirkan bahwa, benda-benda tersebut semacam umpan atau santunan kepada roh halus, agar tidak mengganggu hajat mahluk manusia.
Benda-benda tersebut di atas semacam korban ritus untuk ruwatan. Hal itu merupakan tebusan kepada para roh pengganggu atau sang kumilit-kumalat untuk membuat mereka menjadi tentram, sehingga tak bernapsu untuk mengacaukan aktivitas manusia. Dalam kehidupan masa lalu, memang amat mungkin itikad semacam itu pada kalangan masyarakat suku Sasak.
Ada sesaji-sesaji untuk arwah orang yang telah meninggal dalam bentuk “sesaji pelayaran”. Ada pula sesaji untuk hantu pengganggu bumi, penunggu pohon yang akan ditebang atau bukit yang akan digalas. Itikad untuk memberi korban dalam kaitan ritus tersebut bisa juga terjadi, karena kesalahpahaman atau keawaman pelakunya.
Sekarang coba kita lihat sekaligus menyimak apa yang diterangkan oleh para Kyai Sasak mengenai piranti upacara beras kuning. Beras kuning dalam tradisi suku Sasak disebut Moto Siong, gula kelapa, gula merah dan kelapa. Apa makna simbolisnya?
Beras kuning adalah lambing keagungan, pangkat tinggi dan kedudukan. Beras ditaburkan sebagai peringatan agar, si bayi (umpamanya dalam upacara ngurisan), kelak tidak tergoda atau terhanyut oleh godaan keagungan. Lalu ada pula bunmga setaman. Bunga setaman ini memiliki sifat yang harum, memberi kelenaan. Ada pesona yang ada di sana. Kenikmatan memandang serta mengendusnya.
Nah, itulah simbul sifat wanita. Ada lagi uang logam. Namun sekarang, tak mesti pakai uang logam. Uang kertas pun jadi. Karena uang ini, merupakan simbul harta kekayaan. Diharapkan agar anak atau manusia yang sudah diupacarakan itu, tidak perlu terperangkap oleh pesona harta benda semata.
Gula merah dan kelapa, menghantarkan komposisi warna simbolis merah dan putih. Merah adalah warna darah sebagai warna kehidupan. Dan warna putih adalah warna nuftah cikal bakal sang jabang bayi. Dus ajarannya adalah, agar manusia selalu sadar serta ingat aka asal mula kejadiannya. Ingat akan fitrahnya, kemudian ingat akan tugas yang diemban sebagai satu-satunya mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini.
Konon bumi, langit, samudera luas, gunung dan bintang-bintang, tidak sanggup mengemban amanat Tuhan yang amat berat itu. Namun manusia menyatakan siap memikulnya. Perjanjian gaib dan suci sebelum kita dilahirkan, semuanya tertulis di Laukhil Mahfuz. Demikian tutur para Kyai kita dalam naskah-naskah kuno.

Kemenyan.
Hampir semua orang sekarang mengangap bahwa, membakar kemenyan sewaktu ada hajat rowahan adalah syirik, atau perbuatan animisme. Penulis sendiri pernah sesekali dengan sengaja mengamatinya dan mencoba untuk bertanya. Jawabannya seperti ini; “Harum-haruman (diantaranya karena asap kemenyan) adalah, sadakah. Memberi bau yang harum itu sunah hukumnya. Sebagai tambahan pula, sebagaimana diketahui secara nyata (bukian hanya tiori saja) bahwa, dulu tata cara orang kampung Sasak (petani) itu, berbaur dengan kandang ternak dan unggas. Maka apabila ada hajatan, merupakan hal yang pantas, kalau orang kemudian membakar kemenyan untukmenutupi bu apek dari kandang sapi atau kandang itik di dekat rumah sang empunya hajat.
Kesimpulnnya, kalau mau pakai minyak pengharum (minyak pender) atau pengharum lainnya, pasti harganya mahal. Nah, bukankah ini merupkan kearifan yang hebat dalam konsep-konsep tradisional kita? Dan apabila kita sudah hidup dalam gedung-gedung mewah dan bersih yang sudah dip el menggunakan bahan pembersih lantai merek terkenal,… Ya bakan kemenyan memang jadi tidak mustahil lagi.


Air Kum-kuman.
Ada lagi yang namanya air kum-kuman, yaitu air yang diisi dengan bunga setaman. Air ini gunanya untuk membasuh kepala anak yang akan dicukur atau pembasuh tangan orang yang akan membaca al-quran, hikayat Nabi, lontar dan lain-lain yang dianggap sakral.
Syirikkah ini? Atau kita biarkan bekas tangan orang yang baru saja selesai makan ‘begibung’, lalu mengelus kepala bayi kita yang akan dicukur? Kita biarkan tangan berbau nikotin tembakau atau rokok pilitan, lalu memegang al-quran atau berjanzi? Mana yang lebih arif dengan air kum-kuman itu atau tak perlu mencuci tangan, sebab itu barang bid’ah? Memang masih banyak lagi benda-benda sebagai simbul yang belum dipahami dan perlu dijelaskan. (L.Pangkat Ali)

Kamis, 09 Juli 2009

Teladan Seorang Pedagang “Bong”

Setiap orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah, demikian pendapat Ivan Illich. Bahkan dari suatu kejadian kecil dan remeh, sebuah teladan bermakna dapat dipetik. Seperti peristiwa sederhana yang pernah saya alami bersama seorang penjual “Bong” keliling, Amaq Darme namanya. Pekerjaannya sebagai penjual Bong, Amaq Darme telah menekuni profesinya selama bertahun-tahun. Setiap hari ia pikul dua bong dagangannya berjalan keliling dari desa yang satu ke desa yang lain. Jam kerja Amaq Darme sebagai penjual Bong dimulai pagi hari setelah selesai sarapan dengan segelas kopi, kadang ditemani ubi jalar rebus. Dagangan si Amaq tidak selalu laku dijual. Ia bercerita, juga pernah suatu hari kedua bongnya tidak laku dijual sementara ia telah sangat lapar dan tidak kuat untuk pulang, lalu dititipnya dagangannya pada rumah seseorang dan ia pun masih mampu melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke rumah hari itu.
Pekerjaan sebagai penjual Bong keliling ini boleh dipandang sebagai pekerjaan serba salah. Kalau dagangannya tidak laku, berarti tidak ada makan esok hari. Sementara kalau dagangannya kebetulan terbeli satu buah saja, nah ini yang unik sebagai pedagang Bong, supaya pikulannya tetap seimbang, dagangannya yang telah laku harus diganti dengan batu atau sesuatu yang bisa membuat posisi pikulannya tetap seimbang. Iseng saya berpikir, mengapa bukan posisi pikulan seperti ini yang dijadikan lambang pengadilan? Esensinya, sama-sama berupa neraca, yang harus selalu dijaga supaya tetap seimbang.
Yang ingin diceritakan dari Amaq Darme penjual Bong adalah ketika suatu hari saya membeli satu buah Bong itu. Tetapi terjadinya transaksi lebih karena rasa kasihan saja. Selain itu ada hasrat untuk menyelami kesehariannya melalui bincang-bincang yang saya rencanakan spontan. Perbincangan dan tawar menawar dimulai. Dia mematok harga Rp.25.000,- untuk setiap Bong. Dalam hati saya sudah deal dengan berapapun harga yang disebutkan, tetapi saya bermaksud mencandanya dengan mencoba memperpanjang tawar menawar seperti alotnya ibu-ibu menawar di pasar dengan menyebut Rp.20.000,- kemudian sedikit demi sedikit saya naikkan harga, mulai Rp.20.500,- menjadi Rp.21.000,- Dia pun bersedia turun dari harga awal yang disebutkan dan ketemu pada harga Rp.24.000,- Tampak sekali raut senang terpancar di wajah si penjual.
Lalu kubayar dengan uang Rp.25.000,- dan dia ternyat tidak punya uang Rp.1.000,- sebagai uang susuk yang harus dikmbalikan padaku. “Tidak ada uang “angsul” (kembalian) Bapak”, begitu katanya dengan lugu polos dan jujur. Saya pun tidak sempat menanggapi karena sedang berbasa basi dengan tetangga yang kebetulan lewat. Tanpa berkata-kata saya salami lalu dia pun siap untuk melanjutkan perjalanan kelilingnya. Dalam hati telah saya transaksikan uang Rp.1.000,- dengan mengikhlaskan untuk tidak dikembalikan. Toh cuma seribu rupiah.
Sebelum beranjak dia minta izin untuk mengambil batu yang kebetulan tergeletak di pinggir got, saya pun mengangguk seperti orang sombong karena topik pembicaraan dengan tetangga semakin asyik. Dia benar-benar meletakkan batu itu di pikulannya sebagai ganti dagangan yang telah laku untukku dan ia pun dapat melenggang karena pikulannya telah seimbang. Sebuah ‘pemandangan’ menarik, begitu kataku dalam hati. Dan ternyata tetanggaku yang orang Jawa itu pun mempunyai ketertarikan yang sama. Kami ikuti terus langkahnya berlalu sampai menghilang dari pandangan kami berdua. Susahnya orang mencari uang, kata tetanggaku yang punya rasa humor dan sosial tinggi.
Kejadian ini sudah lama berlangsung dan saya pun melupakan si Amaq, sampai tiba-tiba pada suatu hari ketika baru saja pulang kerja, saya melihat ada orang menunggu di pintu gerbang rumahku.
Lama baru ingat bahwa dialah si penjual Bong. Diawali sedikit basa basi, saya langsung mengundang canda: “Saya belum butuh Bong lagi”, sapaku bermaksud menggoda.
“Saya sudah tidak lagi menjual Bong, Bapak”, jawabnya spontan. Dengan sedikit senyum tersungging di bibirnya, dia pun melanjutkan ucapannya. “Saya berencana mencari kerja ke Malaysia” katanya. Oh bagus!! Kerja apa? Di mana? Pakai jalur resmi tidak? Langsung saya berondong dengan pertanyaan pertanyaan karena kami merasa sangat akrab. Semua pertanyaanku dijawab memuaskan.
Lalu pertanyaanku: Apa yang bisa saya buat?
Anu pak…karena Amaq sudah tidak lagi sebagai penjual Bong dan akan ke Malaysia, hari ini saya bermaksud mengembalikan uang “angsul” yang dulu belum sempat saya kembalikan.

Rabu, 24 Juni 2009

Penari Gandrung


Ada satu lagi jenis seni tari yang cukup digemari oleh masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok. Namanya 'tari gandrung'. Jenis kesenian tari yang satu ini dilakoni oleh seorang wanita dengan busana sedemikian rupa. Biasanya, tarian ini digelar pada saat acara hari-hari besar atau ketika pelaksanaan acara resepsi perkawinan. tari ini sengaja digelar sekaligus untuk menyemarakkan kegiatan resepsi. Durasi kegiatannya, bisa sampai semalam suntuk.
Sebelum penari beraksi, terlebih dahulu si Penari mencari pasangannya (laki-laki) dengan cara melempar kipas (kepet:sasak). Bila salah seorang dari Penonton yang didominasi oleh kaum laki-laki terkena lemparan penari, penonton inilah yang berhak tampil menari berlenggak-lenggok bersama penari gandrung tadi. Sembari berlenggak-lenggok, penari juga melantunkan syair-syair Sasak sebagai penyejuk dan penghibus. Tapi jangan lupa, usai menari pasangan laki-laki harus mengeluarkan sejumlah uang, kemudian memberikannya kepada si penari. Semakin besar nilai uang yang diberikan, diidentikkan dengan status materi dari si laki-laki. Karena uang yang besar (bisa sampai Rp.100 ribu), biasanya diperlihatkan kepada penonton yang lain sebelum memberikannya kepada si penari gandrung.

Jumat, 19 Juni 2009

Sejarah Daerah Lombok

“ARYA BANJAR GETAS”
Tokoh Legendaris Sasak di Lombok

Orang banyak membaca, nama Arya Banjar Getas itu, bersumber dari sejumlah Babad, baik Babad tersebut berada di Gumi Sasak maupun di luar Sasak yang Lombok. Ada pula orang membaca, Arya Banjar Getas bersumber dari buku-buku yang ditulis, terutama sekali oleh penulis luar dan sedikit sekali penulis dalam yang Lombok, lalu membuat interpretasi sendiri-sendiri tentang kesaksian itu.
Namun apapun alasannya, saya ingin mencoba mengutip beberapa sumber sebagai insprirasi, pembelajaran, inventarisasi budaya serta pengetahuan bermakna seputar sejarah daerah Sasak Lombok, dengan Arya Banjar Getasnya. Arya Banjar Getas, seorang tokoh legendaris Gumi Sasak yang Lomboq (baca: lurus). Namun sebelumnya, saya memohon izin, terutama sekali kepada para dane-dane penglingsir lan tokoh adat Sasak magenah ring Lombok panegare. Lebih-lebih kepada Yayasan Pendidikan Pariwisata “Pejanggiq” yang telah mengetahui banyak tentang sejarah daerah Lombok.
Maksud saya adalah, mempublikasikan sejarah dan budaya ini, semoga bermakna bagi generasi muda Sasak khususnya. Karena tidak ada maksud dan tendesi lain, kecuali memberikan pebelajaran dan pencerahan sejarah kepada mereka.
Jika dalam penyampaian cerita ini, terdapat perbedaan, kekeliruan, baik nama tokoh, ulasan, versi serta hal-hal lain yang dinilai cukup komplek, pada kesempatan ini saya mohon maaf, karena inilah keterbatasan pengetahuan saya.
Berkaitan dengan keterbatan-keterbatas di atas, mulai edisi ini saya ingin mencoba, mengetengahkan sejarah daerah Lombok melalui Arya Banjar Getasnya. Dengan harapan, Pembaca dapat memberikan tegur sapa yang sifatnya konstruktif pada saya. Dengan senang hati saya sampaikan rasa hormat yang setinggi-tingginya. Semoga dengan hadirnya tulisan ini, akan bermakna bagi generasi muda Sasak khususnya.
Perlu dikemukakan bahwa, peninggalan sejarah di Pulau Lombok, hanya sebagian kecil yang masih tersisa. Berbagai faktor penyebab musnahnya peninggalan tersebut antara lain, bangunan bersejarah seperti istana dan lain-lain, dihancurkan para penjajah penguasa secara sengaja yakni, Karang Asem dan diteruskan oleh Belanda. Penyebab lainnya adalah, sisa-sisa bangunan yang ada, dilanda bencana alam yang dahsyat terutama sekali meletusnya gunung Rinjani di abad XVII-XIX serta peninggalan-peninggalan ditulis dalam bentuk prasasti yang terbuat dari logam maupun daun lontar, kemudian banyak diangkut oleh penguasa Belanda ke Nederland. Yang dikuasai penjajah Belanda di bumi Nusantara ini, bukan sekedar ekonomi, namun menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat, mulai dari ideologi sampai ke hankam.
Selain itu, ketidakfahaman penduduk akan makna sejarah, menyebabkan benda-benda bersejarah seperti senjata (keris, pedang, tombak), takepan (babad), alat-alat rumah tangga (keramik, porselin, perunggu, kuningan) diperjualbelikan secara sembarang, lalu diangkut ke luar daerah dan luar negeri. Begitu pula, yang paling penting bahwa, terdapat unsur kesengajaan dari para penjajah bahwa, sejarah termasuk bukti sejarah daerah Lombok (orang-orang Sasak) memang sengaja dihancurleburkan, karena kalau ingin menghancurkan suatu bangsa atau kaum, hancurkanlah sejarahnya. Ini adalah motto penjajah yang diterapkan di Bumi Lombok. Keganasan dan kegamangan penguasa masa lalu, telah menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah dari semua kerajaan-kerajaan di Lombok seperti Selaparang, Pejanggiq, Purwa, Banjar Getas dll.
Penghancuran istana serta bangunan-bangunan sekitar, selalu dengan pola pembakaran sampai habis oleh penguasa dinasti Karang Asem Bali. Begitu pula kerajaan Karang Asem Bali yang pernah berkuasa di Lombok seperti Mataram, Singasari-Cakranegara, peninggalan bangunan bersejarahnya disapu rata lagi oleh penguasa Belanda.
Untung masih ada beberapa yang tersisa, misalnya masjid Bayan, makam Selaparang. Makam Pejanggiq yang secara kebetulan dibangun rata-rata di atas bukit, sehingga tidak terkena lahar gunung meletus. Selebihnya, sisa peninggalan Singasari-Cakranegara antara lain, pura Miru Cakranegara, taman Mayura dan taman Narmada yang dibangun pada masa kekuasaan dinasti Karang Asem di Lombok yang notabene memang aman dari keganasan bencana alam, terutama letusan gunung Rinjani yang terhebat tahun 1817 (Bedah Takepan-Babad dan Buku Sasak: Mamiq Jahar). Lebih-lebih lagi peninggalan yang tersisa itu dibangun setelah letusan Rinjani tadi.
Penghancuran ini, tidak hanya di zaman kolonial Belanda. Setelah kita merdeka pun banyak mesjid tua dirubah konstruksinya bergaya moderen. Begitu pula taman-taman yang pernah ada. Seperti contoh; taman zaman dinasti Arya Banjar Getas yang terletak disebelah timur istana (sekarang pendopo Kabupaten Lombok Tengah di Praya) yang pernah dipugar Belanda, juga diludeskan menjadi bangunan sekitar tahun 1957-1958.
Sisa-sisa bangunan bersejarah dari penghancuran yang dilakukan raja-raja penguasa, bahkan diperparah dan dikubur dalam tanah dengan meletusnya gunung Rinjani berkali-kali, dimulai tahun 1786 dan tahun 1817. Bukan saja korban harta, tapi beribu-ribu korban nyawa di pulau Lombok sampai ke Sumbawa Barat dan Bali Utara (Buleleng).
Lain lagi dengan benda-benda bersejarah lainnya. Oleh para pedagang, hingga kini benda-benda purbakala tersebut diperjualbelikan, lalu jatuh ke tangan kolektor mancanegara. Sementara, untuk penyelamatannya sulit dilakukan, karena pemerintah memiliki dana dan tenaga yang amat terbatas. Untung saja masih ada Ir.H.Lalu Djelenge, punya kepedulian yang tinggi akan benda-benda bersejarah di daerah Lombok. Membeli dan mengoleksi sejumlah keris Lombok, sehingga tidak habis dibawa ke luar daerah, bahkan luar negeri menjadi konsumsi para kolektor melalui jalur wisata. Inipun setelah beliau melihat betapa banyaknya benda-benda purbakala Sasak yang telah sirna dari bumi Lombok. Karena itu, kepadanya, generari muda Sasak salut dan pantas kita acungkan jempol!.
Sisa-sisa peninggalan sejarah orang Sasak tempo doeloe, memang masih ada dan tersebar di berbagai tempat, terutama menjadi milik keluarga atau pribadi. Melalui serpihan itulah, lalu dilakukan penelusuran dan penelitian, termasuk dalam rangka pempublikasiannya. Namun sayangnya, untuk memperolehnya terkadang terlalu prosedural, bahkan terkadang harus melalui upacara-upacara ritual tertentu, sesuai tradisi yang telah lama diberlakukan.
Permasalahan lain yang mendorong penulisan sejarah ini adalah aktivitas dan kreativitas generasi muda Sasak dewasa ini yang ingin lebih mengenal jati diri mereka; apakah mereka itu dari kalangan pelajar, mahasiswa maupun LSM yang muncul di era reformasi kini. Sayangnya, ada satu masalah yang dewasa ini sering muncul sebagai suatu wacana sejarah di Indonesia (bukan hanya di pulau Lombok, tapi dimana-mana di nusantara ini), tentang obyektivitas dan kebenaran sejarah.
Yang ingin ditegaskan disini adalah, obyektivitas sejarah tidak sama secara mutlak dengan kebenaran sejarah. Sejarah tidak dapat menciptakan kembali masa lampau. Karenanya, obyektivitas yang diartikan ‘benar’ secara mutlak, tidak akan mungkin akan tercapai.
Penulisan sejarah hanya dapat dilakukan dengan aturan-aturan atau metode-metode sebatas menjamin obyektivitas itu. Malah sering ketika kita membaca tulisan-tulisan yang bernuansa sejarah daerah Lombok (Sasak), bisa jadi pengetahuan kita tidak menjadi bertambah tentang masa lampau itu, karena kebanyakan ditulis dengan penuh keragu-raguan dan pada kondisi obyektivitas yang tidak pasti.
Kita ambil contoh, masuknya kekuasaan Karang Asem-Bali merambah Lombok ada yang menulisnya pada kira-kira tahun 1692, 1693, 1721 dll. Padahal dalam candrasangkala (sandikala) atau kronogram sumber yang ada, jelas-jelas disebutkan tahun 1721 M. Demikian pula ketika versi tentang kalahnya raja Pejanggiq Pemban raja Kesuma oleh Karang Asen dan Arya Banjar Getas (Arya Sudarsana) (1722), sumber di Lombok menyebutkan raja Kesuma meninggalkan Purwa-Sakra ke Taliwang Sumbawa, masih ada yang mengikuti sumber yang salah yang menyatakan raja Kesuma ditawan, lalu dibawa ke Bali dan dibunuh di ujung yang jelas-jelas salah. Mengapa salah? Karena raja Kesuma masa itu masih mengendalikan pemerintahan di tempat persembunyiannya di Sumbawa Barat (Taliwang), bahkan tahun 1723-1724 pulang meneruskan perlawanan Pejanggiq melalui kerajaan Purwa (Purwadadi-Sakra) sebuah kerajaan bagian dari Pejanggiq yang masih bertalian darah.
Inilah faktor-faktor yang membuat orang terkadang bingung membaca tulisan yang sebenarnya bukan sejarah, tetapi sekedar berwawasan sejarah saja. Lain lagi upaya orang Sasak (Selaparang) memboikot atau merampas pelayaran Belanda dari maluku ke Batavia (Jakarta) membawa rempah-rempah yang bersekutu dengan Makasar, Bima, Dompu, Sumbawa, Ternate dan Tidore di sepanjang Teluk Saleh-Selat Makasar pasca perang Selaparang – VOC (Belanda) tahun 1675. Oleh banyak kalangan penulis sejarah Nusantara, dikatakannya sebagai bajak laut. Padahal justru mereka itu adalah pahlawan-pahlawan Nusantara yang tidak menghendaki berkuasanya Belanda di Indonesia.
Bahkan dalam sejarah Nasional, ketika orang di Ambon (Maluku) telah menemukan bukti sejarah bahwa, Pati Mura yang selama ini dikenal dengan nama Thomas Matulesi, tidak lain dari Ahmad Matulezi yang melakukan perlawanan habis-habisan terhadap imperialisme Barat di Maluku. Lalu nama Ahmad diganti menjadi Thomas. Toh masih juga sejarah nasional menulisnya demikian. Sengajakah pihak Belanda melakukan itu? Jawabnya ‘bisa ya, bisa tidak’. Kita sebut ‘ya’ karena ketika memandang bahwa yang diupayakan Belanda bukan sekedar penjajahan politik, tapi juga penjajahan melalui penyebaran agama Nasrani. Adanya misionaris yang secara gencar menyebarkan agama Nasrani, bahkan sampai-sampai Belanda mengirim Snouck Hurgronye belajar Islam dan tinggal bertahun-tahun di Makkah, sampai bisa memplesetkan sejumlah ayat al-qur’an dan hadits, adalah bukti dan upaya kegamangan yang dilakukan imperialisme Belanda dalam menguasai Nusantara.
Yang terakhir, barangkalai inilah sekelumit pengantar, sebagai awal penulisan Sejarah Daerah Lombok dengan Arya Banjar Getas. Harapannya, Insya Allah kita bertemu kembali pada edisi mendatang. (L.Pangkat Ali)

(2)

Tulisan dengan judul “Arya Banjar Getas” ini, disuguhkan bagi para pembaca ‘Perspektif’, khususnya generasi muda. Harapannya, agar mereka dapat memperoleh dan memiliki nuansa sejarah daerahnya. Paling tidak mereka akan tahu, sebutan-sebutan Arya Banjar Getas (ABG) bukan sekedar personal Arya Sudarsana semata, muncul sebagai pimpinan laskar (1675-1678) sampai menjadi patih ke lima Selaparang antara tahun 1715-1716, tetapi lebih dari sekedar pribadi.

Arya Banjar Getas, akhirnya menjadi nama sebuah kerajaan yang semula bernama kerajaan ‘Memelaq’, karena berpusat di Memelaq tahun 1722-1742 (sekarang di kelurahan Gerunung-Praya), lalu pindah ke Gawah Brora (berganti nama menjadi Praya, dibangun mulai tahun 1740 selesai tahun 1742 dan hingga kini bernama Praya). Jarak antara Gawah Memelaq beberapa kilo meter kearah Utara kota Praya. Sejak itu (1742) kerajaan Memelaq lebih popular dengan sebutan kerajaan Arya Banjar Getas (bukan kerajaan Praya).
Di samping nama dan fungsi di atas, sebutan Arya Banjar Getas, akhirnya menjadi nama gelar dinasti raja-raja yang memerintah di kerajaan itu (mulai Arya Sudarsana sebagai ABG I tahun 1722-1740 dan meninggal tahun 1742, berlanjut sampai Raden Wiracandra sebagai ABG VII) dalam kurun waktu berdiri sampai hancurnya kerajaan Arya Banjar Getas yang di akhir Congah (perang) Praya I tahun 1739-1741. Kerajaan boleh hancur tetapi perlawanan terhadap penjajah harus jalan terus.
Demikianlah kiprah generasi Arya Banjar Getas, tidak hingga disitu. Perlawanan terhadap kekuasaan Karang Asem masih tetap berlanjut sampai akhir Congah Praya II yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Lombok (1891-1894) yang mengakhiri kekuasaan Dinasti Karang Asem di Lombok. Perlawanan Praya masih berlanjut lagi di saat berkuasanya Belanda (1894). Lewat berkali-kali perang rakyat Sasak yang dimotori Praya melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Kerajaan Selaparang Sekilas

Kerajaan Selaparang merupakan sebuah kerajaan terbesar di Pulau Lombok sejak abad XIII hingga abad XVIII. Kerajaan ini tumbuh dan berkembang dalam dua periode. Periode pertama, sebelum Islam masuk ke Lombok (abad XIII-XV) dan periode ke dua, setelah kerajaan Selaparang menjadi kerajaan Islam (abad XV-XVIII). Pada periode sebelum Islam, Selaparang ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit (tahun 1357 M) di bawah pimpinan Panglima Mpu Nala.
Kedatangan pasukan Majapahit ke Selaparang, sebenarnya pertama kali tahun 1343 M, berbarengan dengan upaya menaklukkan kerajaan-kerajaan di Bali. Namun mengalami kegagalan karena medan menuju ibukota Selaparang dari pantai (Labuhan Lombok, Gili Sulat dan sekiarnya) cukup jauh dan berat. Lebih-lebih harus melintasi bukit dan gunung yang terjal. Hal ini sebenarnya mudah ditebak oleh mereka yang mengerti akan makna “Selaparang” (dari bahasa Kawi; sela = batu; parang = cadas). Dengan demikian Selaparang berarti batu cadas (istilah bahasa Sasak = batu rerejeng). Tidak tepat jika disebut batu karang, sebab karang adanya di laut, sementara Selaparang letaknya di atas ketinggian bukit.
Dalam rangka Gajah Mada sebagai mahapatih kerajaan Majapahit sedang melaksanakan sumpah palapanya untuk mempersatukan Nusantara, tahun 1343, Gajah Mada memerintahkan Panglima Nala untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di bagian Timur Nusantara, antara lain Dompu di Pulau Sumbawa dan Selaparang di Pulau Lombok. Ekspedisi ini mengalami kegagalan total, karena pihak Majapahit kekurangan logistik dan medan yang ditempuh memang berat seperti yang dikemukakan di atas. Berbekal pengalaman atas kegagalan pada tahun 1343 M, ekspedisi Majapahit diperbesar jumlahnya serta dipersiapkan persenjataan maupun logistiknya secara matang.
Pada tahun 1357 M, Selaparang dan Dompu ditundukkan dan ikut bergabung dibawah panji-panji kebesaran Majapahit yang mendirikan kesatuan Nusantara. Bahkan dalam sebuah catatan yang dikenal dengan sbutan ‘Bencingah Punan’ (diambil dari nama bencingah atau balai agung, tempat menjamu tamu kehormatan) dinyatakan bahwa, setelah Selaparang menyatukan diri dengan Majapahit, Gajah Mada datang ke Selaparang.
Kehadiran Mahapatih Gajah Mada yang meminta pertemuan damai, disambut baik oleh Prabu Inopati bersama Patihnya Rangga Bumbung. Perundingan diadakan di pusat kerajaan Selaparang dengan catatan, para pembesar Majapahit harus hadir tanpa senjata jika memang ingin damai. Mereka boleh diikuti para prajuritnya.
Ratusan ekor kuda dipersiapkan oleh Selaparang untuk menjemput tamunya yang ketika itu telah berada di Karang Mumbul. Kesepakatan perundingan Bencingah Punan tersebut diukir dalam sebuah prasasti Punan (kini prasasti Punan tersebut menjadi koleksi Museum Leiden yang diboyong Belanda. Termasuk pula buku Negara Kertagama yang ditemukan Belanda di Lombok, tepatnya di Puri Cakranegara, ketika Cakranegara jatuh ke tangan Belanda 1894).
Tahun 1357 Majapahit menguasai Selaparang secara damai, termasuk kedatangan Gajah Mada. Kemudian Majapahit runtuh tahun 1478 M dengan cendrasengkalanya ;”sirna hilang kerta ning bhumi”. Memang masih ada pemerintahan yang bertahan atas nama Majapahit sampai tahun 1548 dengan rajanya yang terakhir bernama Girindrawardhana bergelar Prabu Brawijaya VII yang malang di kota Malang sekarang ini.
Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan daerah lainnya bermunculan pasca Majapahit. Demikian pula Islam disebarkan ke Lombok oleh para ulama, sejalan dengan pengaruh Wali Songo di Pulau Jawa. Ratu Praktikel (Sunan Mas) yang dikenal pula dengan nama Sunan Prapen, putra Sunan Giri (Gersik) merupakan tokoh penganjur agama Islam yang besar jasanya bagi proses Islamisasi di Pulau Lombok. Agama Islam akhirnya diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Sasak, bahkan menjadi agama resmi kerajaan Selaparang sebagai penguasa Lombok.
Persekutuan Selaparang dengan para Sultan di Makasar, Bima, Sumbawa, Ternate dan Tidore menghadapi VOC (Kompeni Belanda) sempat menimbulkan ketegangan antara VOC dengan Selaparang. Karena, VOC ingin menopoli rempah-rempah di Maluku. Selaparang mengirim bala bantuannya sejumlah 20 kapal (perahu layar). Jangan kita heran jika sampai kini di Ternate masih terdapat perkampungan dengan nama kampung Sasak.
Berlanjut dengan jatuhnya Makasar ke tangan VOC, ditandai dengan perjanjian Bongaya, peran Selaparang menjadi semakin penting. Selaparang dijadikan pusat pertahanan kerajaan-kerajaan Islam Makasar, Bima dan Sumbawa. Peperangan antara Selaparang melawan VOC yang dibantu oleh Sultan Makasar, Bima dan Sumbawa, pecah pada tanggal 16 Maret 1675. Pasukan Belanda dipimpin oleh Kapten Holstijn. Sedang pasukan Selaparang dipimpin oleh tiga orang patihnya, masing-masing Raden Abdi Wirasantana, Raden Kawisanir Kusing dan Arya Busing.
Sejarah Belanda mencatat, betapa hebatnya pertempuran antara VOC dengan Selaparang. Btapa hebatnya Abdi Wirasantana dkk. Mengobrak-abrik pasukan Belanda, sehingga Holstijn tak mampu menaklukkan Selaparang dan meninggalkan Labuhan Lombok tanpa hasil apa-apa. Sayangnya, semua ini tak pernah terbaca dalam buku pelajaran sejarah nasional, sehingga orang Sasak seolah-olah hanya menjadi penonton ketika zaman VOC dan kolonial Belanda di bumi Nusantara tercinta ini.
Yang paling menyedihkan, faham orang Belanda yang menganggap prajurit Selaparang sebagai perompak VOC di sekitar laut Jawa, ikut dibahasakan oleh orang-orang Indonesia sendiri dengan sebutan yang sama yakni “perompak (bajak laut)” Padahal kalau mereka kaji, mereka adalah para pahlawan Sasak yang tidak senang terhadap penjajah Belanda. Hal ini adalah sebuah “pemutarbalikan fakta sejarah”
Karena itu, lewat tulisan ini perlu dipermasalahkan bahwa, pelurusan sejarah nasional mutlak diperlukan. Lebih-lebih masih banyaknya sejarah perjuangan rakyat diberbagai daerah yang belum terbaca dibuku sejarah Indonesia. Mungkin banyak orang Sasak yang tidak tahu kalau perang Sikka-di NTT melawan Belanda, itu dimotori orang Sasak yang dibuang ke sana, karena perang melawan Belanda. Mulai dari perang Sesela, perang Apitaiq, perang Gandor, perang Praya III, perang Pringgabaya I, II, perang Tuban Sengkol dan perang Batu Grantung Anyar-Bayan dalam kurun waktu tahun 1898-1913, banyak yang dibuang ke luar daerah jika mereka tertawan. Ada yang dibuang ke Sikka (NTT), Digul-Irian Barat (sekarang Papua), Dili (Tim-Tim), Sawahlunto, Jambi, Lampung, Riau (Batam), Bangka, Banyuwangi, Surabaya, Batavia (Betawi), Bandung, Cirebon dan Gili Trawangan (Lombok).
Ketika raja Sikka bernama Nikiniki berontak, yang mengajaknya mengangkat senjata, justru Lalu Pujut, Mamiq Padma dari Sengkol, Mamiq Ulan-Batujai, Papuq Ayu, Lalu Anting, Sirawi dan Sukur dari Pringgabaya. Dengan berbekalkan pengalaman angkat senjata di Lombok sampai mereka terbuang ke sana. Lalu Pujut, Lalu Anting dan Sirawi, akhirnya tewas dalam perang Sikka itu. Raden Ratsasih dan Raden Ratsayang (dua bersaudara) dari Batu Grantung dkk. dibuang ke Banyuwangi. Guru Saleh-Apitaiq dkk. dibuang ke Dili. Lalu Mustafa dari Praya dibuang ke Digul. Malah ketika Bung Karno dibuang ke Digul (1937), ia dapat membantunya menyiasati kelangkaan kertas. Daun pisang kering dibuat oleh Mustafa ini menjadi pengganti kertas dengan disetrika agar tidak banyak kerutan.
Sejalan dengan konplik Selaparang dengan VOC tahun 1675, muncul seorang tokoh legendaris Gumi Sasak (Lombok) bernama Arya Sudarsana, yang di Selaparang kemudian dikenal dengan nama Arya Banjar (belum bernama Arya Banjar Getas). Kelak di Pejanggiq baru dikenal dan popular dengan nama Arya Banjar Getas. Tokoh ini hampir tak pernah dilupakan orang, kendati hidup dan berkiprah di akhir abad XVII hingga memasuki pertengahan abad XVIII.
Banyak nama dan gelar yang disandangnya. Ini disebabkan karena, ketika hidupnya mengabdikan diri untuk bangsa dan Negara Sasak di gumi Lombok sebelum lahir NKRI. Arya Sudarsana melalui kiprahnya sebagai prajurit kerajaan Selaparang menghadapi VOC dalam perang tahun 1675. Kiprahnya sebagai prajurit berlanjut ketika Selaparang menghadapi serangan dari kerajaan Gelgel-Bali tahun 1677 dan 1678. Memang pada tahun 1616,1624 dan 1630 kerajaan Gelgel sudah mencoba ingin memperluas kekuasaannya ke wilayah timur (Lombok), namun tak pernah berhasil. (L.Pangkat Ali)

Senin, 15 Juni 2009

Meringkas Sejarah “Rorok Kembang Waru” Dalam Perang Topat


Sedikit yang tahu bahwa, di Lingsar berdiri bangunan peninggalan sejarah masa lalu yang monumental. Ini merupakan buah karya seorang raja dan Permaisuri yang sangat arif dan bijaksana, berwawasan luas, bersemangat patriotisme dan berpandangan hidup jauh ke depan. Hal ini telah mkelahirkan sebuah fenomena sejarah untuk diwariskan kepada generasi penerusnya yang terdiri dari dua umat berbeda keyakinan, etnis dan tradisi yaitu, umat Suku Bali yang beragama Hindu dan umat Suku Sasak beragama Islam.
Pura Gaduh dan Kemalik Lingsar, merupakan sebuah momen spektakuler, mampu menarik perhatian dunia dan para ahli, karena dua umat berlatar belakang dan kultur yang berbeda, mampu hidup berdampingan, saling menghargai dan menghormati.
Menurut seorang tokoh Pemuda yang tergabung dalam Persatuan Pemuda Lingsar (PPL), Sahirman, HK, kepada Perspektif, mengutip penjelasan seniornya Soeparman Taufik bahwa, Konon ada tiga orang Ulama yang menyebarkan kebenaran Agama Islam saat itu. Mereka adalah Raden Mas Kerta Jagad, Raden Mas Kerta Pati dan Raden Ayu Mas Dewi Anjani. Mereka kemudian dinobatkan sebagai raja yang disebut Datu Telu Besanakan. Raden Mas Kerta Jagad sendiri diberi gelar Pemban Pengerakse atau Pengemban Jagad Haji Abdul Malik. Kemudian Raden Mas Kerta Pati, diberi gelar Pengiring Pemban Pengerakse Jagad Haji Abdul Rauf dan gelar Pengabih bagi Raden Ayu Mas Dewi Anjani.
Dari situs Kemalik Lingsar, Datu Telu Besanakan membagi tugas dakwahnya masing-masing. Pengerakse Haji Abdul Malik, tetap tinggal di Lingsar. Pengiring Pemban Haji Abdul Rauf melakukan dakwah ke Bali Utara sekitar kawasan Gunung Agung. Sementara Pengabih Pemban Dewi Anjani melanjutkan dakwahnya ke Gunung Rinjani. Beliau tertarik melakukan ajaran Syariat Islam kepada Jin. Pembagian tugas dakwah mereka, dimulai setelah terjadi sebuah fenomena alam yang sangat sensasional. Ini terjadi dan berlangsung di areal Kemalik Lingsar yang kemudian dikenal dengan sebutan “Rorok Kembang Waru”.
Peristiwa Rorok Kembang Waru ini, suatu kejadian luar biasa yang menunjukkan keramahan Pemban Pengerakse Jagad Haji Abdul Malik, dimana pada suatu malam yang cerah, bulan mengembang dengan cahaya yang terang diiringi bintang yang berkelip, Hamba Allah ini sedang berselawat dengan khusu’ disebuah lembah di kaki bukit yang tandus dan gersang. Hanya sebatang pohon waru yang bisa bertahan hidup di tempat itu. Sesaat kemudian Pemban Pengerakse Haji Abdul Malik, setelah selesai berzikir, ia berdiri dan menghampiri batang pohon waru itu. Dengan membawa tongkat, ia lalu menancapkannya ke dalam tanah. Sesaat kemudian dicabutnya tongkat itu, dan dengan Kun Fayakun Allah SWT, tiba-tiba sebuah mata air yang besar, mengalir dengan derasnya dari bawah pohon waru di kaki bukit yang gersang itu.
Berbarengan dengan itu, kembang-kembang waru ditempat itupun berguguran, sehingga kejadian itu disebut “Rorok Kembang Waru”. Sesaat kemudian langit berubah mendung, kilat menyambar, kemudian mencurahkan hujan yang begitu besar, bagaikan begitu saja dituangkan dari langit. Sejak itulah, nama Lingsar mulai terdengar. Sebab Lingsar berasar dari kata “Ling” yang artinya “Ongkat/Uni” dalam bahasa Sasak. Sementara kata “Sar” berarti “Bunyi desiran air yang keras” Jadi Lingsar berarti, “Suara Air”
Fenomena ini kemudian diperingati tiap tahun, sejalan dengan Pemban Pengerakse Jagad Haji Abdul Malik masih berada disitus Kemalik hingga sekarang. Peristiwa tersebut berlangsung, saat purnama sasih ke pituq, menurut kalender Sasak. Dan untuk mengabadikan perjalanan sejarah dari keberadaan datu Telu Besanakan, agar tetap diingat dan dikenang, maka umat membangun sebuah tarian bernama tarian Batek Baris, lengkap dengan hulu balangnya. Tarian ini merupakan personafikasi dari Pengiring Pengabih Pemban Pengerakse Jagad Haji Abdul Malik.
Selanjutnya sebagai rasa syukur bagin umat Sasak pengikut datu Telu Besanakan, setiap purnama sasih ke pituq, diadakan ritual berupa haulan yang diisi dengan membaca ayat suci al quran, zikrullah, selawat dan doa. Sedangkan ritual budayanya, secara simbolis diapresiasikan dalam sebuah pragmen kolosal dilanjutkan dengan acara “Perang Topat”
“Itulah sekelumit dari perjalanan Rorok Kembang Waru dalam Perang Topat ini” kata sahirman, HK menutupi bincang-bincangnya dengan Perspektif di Lingsar. (L.Pangkat Ali)

Perang Topat, Ajang Bersatunya Dua Keyakinan Berbeda

Modernisasi dan westernisasi, dua unsur penting yang perlu dihilangkan dalam mengangkat suatu budaya lokal. Kedua unsur ini terkadang masih kuat mendominasi sebagian budaya kita, sehingga timbul pola kebarat-baratan. Namun, bagi even Perang Topat, kedua unsur itu sama sekali tidak ditemukan. Bahkan sebagai ajang tempat bersatunya dua keyakinan berbeda; Hindu dan Islam, bersatunya dua etnis yang hampir berbeda; Etnis Sasak dan Bali. Bagaimana perjalanan even Perang Topat kali ini? Berikut paparannya.

Perang Topat adalah, suatu upacara ritual yang merupakan pencerminan rasa syukur kepada Sang Pencipta, yang telah memberikan kemakmuran dalam bentuk kesuburan tanah, cucuran air hujan dan hasil pertanian yang melimpah. Upacara ini dilaksanakan di Taman Lingsar oleh umat Hindu bersama-sama dengan Suku Sasak, yaitu dengan cara saling melemparkan topat (ketupat) antara peserta yang satu dengan yang lainnya.
Perang topat ini dilaksanakan setelah selesainya Pedande Mapuja, yaitu pada saat Roroq Kembang Waru (bergugurannya kembang waru) sekitar pukul 17.30. Biasanya upacara yang cukup sakral ini dilaksanakan setiap tahun pada bulan Purname Sasi ke pituq menurut kalender Sasak, atau sekitar bulan Desember.
Taman Lingsar, sebagai tempat upacara ini, terletak di sebelah Utara Narmada. Dulunya masih sebagai wilayah hukum Kecamatan Narmada. Namun setelah terjadi pemekaran wilayah kecamatan, maka tempat ini sudah depinitif sebagai wilayah kecamatan sendiri, yaitu Kecamatan Lingsar. Di Taman inilah terdapat pura dan merupakan tempat pemujaan yang berdampingan antara pemeluk agama Hindu (Bali) dan Islam (Susu Sasak).
Suku Sasak sendiri yang beragama Islam, bersama-sama umat Hindu pada awal musim penghujan pada akhir bulan Nopember atau awal Desember, di tempat ini dilaksanakan upacara “Perang Topat”.
Kronologis upacara ini, diawali dengan upacara persembahyangan di tempat pemujaan masing-masing. Kemudian mereka memasuki lapangan di luar tempat pemujaan dan dilanjutkan dengan saling melempar menggunakan ketupat antara para peserta upacara. Masyarakat setempat meyakini bahwa, upacara ini akan memberi berkah dengan turunnya hujan. Sementara masyarakat yang lain menyebutkan bahwa, upacara ini dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur atas hujan yang dikaruniakan oleh Tuhan bagi kemakmuran hidup mereka. Karena itu dilaksanakan pada awal musim penghujan.
Melihat daur hidup masyarakat Lombok Barat ini, memang sekilas sarat dengan budaya lokal yang kuat. Tak ada sentuhan unsur westernisasi ataupun modernisasi di dalamnya. Tak ada sikap kebarat-baratan yang mampu menggerogoti dan memangkas kearifan budaya lokal kita. Perang Topat yang sakral dan satu-satunya di dunia ini, tetap eksis mengangkat harkat kearifan budaya lokal, khususnya budaya masyarakat Lombok Barat.
Even lebaran topat ini merangkul dua sisi sekaligus. Di satu sisi, mengangkat unsur pariwisatanya, khususnya pariwisata Lombok Barat sehingga, dapat menambah nilai plus bagi angka kunjungan wisatawan. Lebih-lebih gelaran yang menjadi agenda tahunan ini, sengaja digelar pada lokasi wisata pilihan Lombok Barat yakni, Pura Lingsar yang dinilai cukup strategis.
Tradisi Perang Topat ini, dapat menjadi salah satu even wisata yang khas di Lombok Barat. Karenanya, perlu dijaga kelestariannya dan menjadi tanggung jawab bersama. Senantiasa berupaya menciptakan situasi yang aman dan kondusif, kendati situasi politik di daerah ini masih dikatakan belum stabil. Namun, semangat membangun senantiasa bergelora, sehingga bisa menjaga prilaku dan perbuatan.
Sisi lain dari even Parnag Topat ini adalah, mengangkat harkat kearifan budaya lokal. Karena kandungan isi dari even ini, sarat dengan sakralisme yang kuat. Hubungan dengan Tuhan antara dua keyakinan (Hindu dan Islam) tetap mendominasi, tanpa saling mempengaruhi satu sama lain. Hubungan dengan Tuhan ini terlihat dari prosesi bersembahyang di Pura Lingsar, baik bagi penganut Hindu maupun Islam. Bagi umat Hindu, melakukan kegiatan religius di Pura Gaduh, sementara bagi umat Muslim melakukan ibadahnya sesuai dengan ritus agamnya yaitu, Kemalik. Di sini merupakan tempat sakral bagi suku Sasak yang beragama Islam. Sebelum hari H, sudah ada acara haul dirangkai dengan membaca ayat suci Al Qur’an, Zikrullah, Selawat dan Do’a.
Konon di Kemalik ini bagi umat Islam, merupakan sebuah kawasan yang diyakini sebagai tempat nenek moyangnya menerima dan menghayati kebenaran agama tauhid yang dibawa oleh tiga orang ulama yang berasal dari Jawa. Di situs itulah awal mula nenek moyang mereka mengenal “Al Malik” adalah Tuhan Yang Esa, yang hidup dan berdiri dengan sendiri-Nya. Tiga orang ulama tempat nenek moyang mereka menerima kebenaran Agama Tauhid adalah, Raden Mas Kerta Jagad, Raden Mas Kerta Pati dan Raden Ayu Mas Dewi Anjani. Ketiganya kemudian dinobatkan sebagai raja yang kemudian disebut Datu Telu Besanakan (Raja bersaudara tiga). Memang, dalam even Perang Topat ini, toleransi beragama sangat kental terasa.
Hal lain yang terasa dalam even tahunan bagi Diparsenib Lombok Barat adalah, bersatunya dua etnis; Sasak dan Bali. Mereka tumpah ruah, bukan hanya sejedar mengikuti prosesi acara seremonial saja, melainkan sekaligus sebagai ajang mencari pasangan hidup. Karena tak jarang, para pengunjung hadir di tempat ini sekaligus bernostalgia. Karena dulu mereka dapat jodoh melalui Perang Topat ini.
Perang Topat yang dirangkai dengan prosesi saling lempar dengan ketupat, dilakukan langsung oleh masyarakat dan pengunjung. Mereka sengaja datang dari berbagai daerah di Pulau Lombok.
“Saya datang ke sini, bernazar minta kesehatan” tutur Inaq Alimah yang sengaja datang dari Sukarara, Lombok Tengah sana. Mereka hadir lengkap dengan busana khasnya, ‘Lambung’. Sementara pengakuan Inaq Muhtar dari Lingsar Lendang mengatakan, jangan coba-coba melakukan ritual “ngaturang” dua kali, karena kegiatan ini hanya dilakukan sekali dalam setahun. “Pernah ada warga yang mengulangi melakukan ritual, keluarga mereka terus sakit-sakitan” tutur wanita tua ini meyakini.
Oleh Diparsenibud Lobar, dalam rangka mengangkat tradisi ini, diharapkan memberikan keyakinan kepada generasi penerus untuk menerima estapet perjuangan. Tetap yakin bahwa, Perang Topat adalah ajang berkeyakinan, ajang berbudaya, ajang silaturahim dan tak kalah pentingnya, ajang mencari jodoh. Inilah keunikan tradisi budaya kita, Perang Topat.
Sementara pihak Pemuda Lingsar yang tergabung dalam Persatuan Pemuda Lingsar (PPL) turut berharap. Antara umat Hindu dan Suku Sasak di Lingsar, masing-masing pihak memiliki toleransi yang dalam, sehingga melahirkan sebuah akulturasi yang sensasional, spektakuler, unik dan langka. Tiada duanya di dunia, melainkan hanya ada di Lingsar, Lombok Barat.
“Ini yang perlu kita jaga dan lesatrikan bersama” harap Ketua PPL dan DPC PAN Lingsar, Sahirman, HK. (L.Pangkat Ali)

Minggu, 17 Mei 2009

Tanggung Jawab Sosial Pariwisata Terhadap Budaya Lombok

LOMBOK pada umumnya, merupakan tujuan utama pariwisata dunia setelah Bali. Tetap diperhitungkan sebagai primadoma. Karena ada keunikan tersendiri jika berwisata ke Pulau Seribu Masjid ini. Apa keunikannya? “Di Bali, kita tidak menemukan Lombok. Tetapi di Lombok, kita menemukan Bali, terutama di Lombok ujung bagian Barat.
Jika keunikan itu tidak dijaga, bukannya mustahil. Lombok akan kehilangan predikatnya sebagai tujuan utama pariwisata. Sebab Lombok sebagai daerah tujuan wisata setelah Bali, memiliki tantangan yang semakin berat, terutama berkaitan dengan kualitas pariwisatanya ke depan. Lalu apa yang mesti dilakukan pelaku pariwisata dan pihak terkait mengenai hal ini?
Dalam kontek pariwisata Lombok, masalah promosi pariwisata seolah-olah hanya lewat promosilah pariwisata di daerah ini akan selamat dan bangkit dari keterpurukan. Mereka lupa bahwa, sebelum Lombok dirkenal seperti sekarang ini, promosi jarang dilakukan. Kalaupun ya, justru yang dipromosikan cuma wisata konvensional yang lebih menekankan wisata alam. Padahal, sesungguhnya yang menjadi ikom pariwisata Lobar, tentu harus mendapat perhatian serius. Tidak hanya perhatian sebetulnya, melainkan juga sebuah tanggung jawab yang besar.
Lalu, siapa yang mesti bertanggung jawab. Bukankah pariwisata di Lombok tidak hanya dikuasai orang Lombok yang berbudaya ke-Lombok-an? Tanggung jawab seperti apa yang diperlukan? Ini adalah merupakan wacana lama yang belum terwujud secara optimal.
Sebagai contoh rumah adat Dusun Segenter di Desa Bayan misalnya. Keberadaan rumah tradisional yang sekarang terpisah dengan Lombok Barat dan memiliki kabupaten sendiri - Kabupaten Lombok Utara (KLU), tak lagi memiliki tingkat ketradisional yang tinggi. Hampir sebagian keaslian akan rumah adat tersebut sudah terkontaminasi oleh pengaruh budaya moderen saat ini.
Menurut analisa Penulis ketika berkunjung ke obyek wisata Dusun Segenter beberapa pekan silam, terdapat sejumlah rumah moderen berbaur dengan rumah tradisional yang ada. Sebuah musholla beratap genteng dengan konstruksi semi beton, berdiri berdampingan dengan pintu masuk menuju rumah adat. Ditambah lagi sejumlah rumah beratap dan kontruksi yang sama, juga berbaur dengan rumah adat tradisional.
Kesan yang bisa penulis simpulkan, betapa kurangnya pembinaan dan tanggung jawab sosial terhadap keberadaan rumah adat tradisional Dusun Segenter ini. Padahal jika ingin belaku jujur, ada kontribusi dan asset cukup memadai dari ketradisionalannya yang dieksploitasi oleh pengelola pariwisata. Mereka hanya melakukan eksploitasi terhadap nilai-nilai budaya yang akhirnya bermuara pada PAD. Sehingga yang tampak hanyalah keenerjikan membicarakan soal promosi yang ujung-ujungnya tidak bisa dipertanggungjawabkan, ketimbang memperjuangkan berapa persen untuk pelaku budaya untuk mewariskan nilai-nilai budaya tersebut.
Kita harapkan, selepas dari kabupaten induk, semoga adanya kepedulian dan tanggung jawab sosial terhadap satu-satunya asset daerah tersebut.
Kelestarian budaya dan adat masyarakat Lombok menjadi tanggung jawab sosial pariwisata. Karena adat dan budaya tersebut menjadi konsumsi wisatawan untuk menikmatinya. Dengan demikian timbul pertanyaan, mana yang lebih epektif, mengadakan promosi atau mengadakan sebuah tanggung jawab sosial untuk melestarikan dan mengembangkan daya tarik itu sendiri?
Jadi, yang dibutuhkan adalah, bagaimana semua pihak mempersiapkan diri untuk menjadi primadona pariwisata. Termasuk di dalamnya menjaga keamanan, kualitas pariwisata, pelestarian budaya, keindahan alam serta pasilitas yang memadai. Dengan begitu, dunia internasional, media massa akan menunjukkan data dan fakta bahwa, Lombok is the best.
Secara logika, jika pariwisata Lombok menyatakan diri sebagai pariwisata budaya, mestinya budaya yang menjadikan ikom dan daya tarik itu diperhatkan oleh pihak pelaku pariwisata maupun stake holders yang ada. Sebab, rasanya ironis sekali, masyarakat Lombok yang begitu getolnya melestarikan budaya dan tradisi, namun yang dilakukan pebisnis pariwisata hanyalah, menikmati manisnya pariwisata tersebut. Tanggung jawab sosial terhadap budaya, adat dan tradisi yang terangkum dalam dunia pariwisata, bukan mustahil menjadi tanggung jawab bersama. Semoga! (L.Pangkat Ali)

Jumat, 15 Mei 2009

“Pengampuan”, Ritual Budaya Sasak yang Perlu Diinventarisir

Sebagai masyarakat Suku Sasak, mungkin hanya segelintir orang saja yang tahu. Mereka adalah, masyarakat Sasak yang tergabung dalam lembaga Majelis Adat Sasak (MAS). “Pengampuan” adalah, satu dari sekian macam ritual budaya Sasak yang sedang dibudayakan. Sebagai lembaga pengelola Pariwisata seni dan Budaya, pengampuan ini perlu untuk diinventarisir. Karena bagaimanapun juga, hasanah budaya, baik yang lama maupun yang baru muncul, merupakan suatu kerifan. Lebih dari itu, kemungkinan sebagai pelengkap devisa.
Makna ‘pengampuan’, berasal dari kata dasar Ampu, bermakna; menggendong atau mengayomi. Ngampu bermakna; mengambil tanggung jawab untuk mengayomi. Pengampuan bermakna; penobatan/pengangkatan seseorang yang di ampu melalui ijab kabul, antara sang Pengampu dan yang di Ampu, di syahkan oleh Krama Adat atau lembaga adat, serta disaksikan oleh segenap masyarakat adat. Setelah proses pengampuan ini, maka sang Pengampu bertanggung jawab memberikan bimbingan selayaknya orang tua terhadap anaknya. Demikian juga yang di Ampu, harus berbakti pada orang tua Pengampunya, serta taat pada titi-tata Adat Sasak Adi Luhung.
Jika mengutip pendapat budayawan Djalaludin Arzaki, Pengampuan merupakan, peralihan perwalian seseorang, dari suku lain ke susu Sasak. Ini sudah berjalan cukup lama, sejak zaman kerajaan Selaparang dan Pejanggik, pengampuan itu sudah ada. Sehingga orang-orang Jawa yang berimigrasi ke Lombok (Banjar Getas), mereka berawal dari melaksanakan ritual pengampuan ini. Mereka lebih dulu di Ampu.
Jadi, makna pengampuan menurut Djalaludin Arzaki, semacam pengalihan perwalian atau pengakuan bahwa mereka menajdi orang Sasak, sehingga dalam pelaksanaan adat Sasak itu, tidak ada lagi adanya perbedaan suku.
Sementara mengutip perndapat Drs.H.L.Azhar, maknanya adalah, dengan adanya jam-jam pada saat acara ritual pengampuan, merupakan sesuatu janji yang secara bahasa adat yang diperkuat oleh kedua belah pihak (Ratna Adi dengan Vudiane).
“Upacara Pengampuan ini merupakan norma adat,” ungkap Ketua Majelis Adat Sasak sekaligus Pengukuh utama Pengampuan, Drs.H.Lalu Azhar, belum lama ini di Mataram.
Lebih lanjut dikatakan mantan Wakil Gubernur NTB ini, pengampuan merupakan norma adat yang sejak lama tumbuh di kalangan masyarakat adat Sasak. Sumbernya dirujuk dari Kitab Lontar Raja Niti Titi Sastra. Terdapat juga rujukan dalam lontar; Serat Menak Kanin-Kaping Sapte (bagian ke tujuh), dikisahkan mengenai titi-tata atau proses upacara pengampuan ini.
Selain sebagai norma adat, pengampuan juga merupakan sebuah kearifan budaya lokal dalam rangka memperluas silaturahim, mempererat rasa kekeluargaan. Kearifan ini merupakan wujud nyata bahwa norma adat Sasak memiliki keterbukaan untuk saling menerima dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Adalah sebuah kekeliruan, apabila adat diidentikkan dengan bentuk-bentuk perilaku eksklusifisme yang kaku.
Berkenaan dengan landasan adat Sasak adalah, “Adat Luwir Gama”, yang bermakna, “Adat Bersendikan Agama”, maka sudah sepantasnya kita menelaah kembali norma adat maupun tradisi yang berlaku di tengah masyarakat. Sekiranya telah sesuai dengan landasan tersebut, maka patut dipertahankan. “Mari kita jalankan adat istiadat ini sesuai dengan kepatuhan”, lanjut Azhar di hadapan para penglingsir, sesepuh adat yang sengaja datang dari seluruh penjuru Pulau Lombok.
Menurut Ketua harian MAS, Drs.H.Mujitahid, Ritual Pengampuan ini, tidak semua orang suku Sasak mau menerima keberadaannya. Karena kata mantan Bupati Lombok Barat ini, memang semua komunitas Sasak, pemahaman tentang ritual ini tidak semua yang tahu. Untuk itu perlu diinventarisir, perlu disosialisasikan sebagai kearifan hasanah budaya lokal.
Pengampuan ini, merupakan resiko dari globalisasi. Orang Sasak tidak bisa menutup diri, artinya adat Sasak ini terbuka. Siapa saja boleh dan mau menjadi pendukung adat budaya Sasak. Namun perlu dicatat sebagai sebuah peringatan, keraifan ritual budaya pengampuan ini mesti dipandang secara benar sesuai hakikat dan maksud yang benar pula. Jangan keluar dari koridor akhlakul karimah, tidak ada hal yang disembunyikan sehingga nilai kearifan tetap terjaga.

Proses Upacara Ritual Pengampuan Adat Sasak

Sebagaimana layaknya sebuah acara sorong serah, terlebih dahulu acara dihadiri oleh semua unsur masyarakat. Tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda tetap menghadiri upacara. Sesuai undangan yang telah diberikan sang handarbe karye, biasanya dalam upacara pengampuan ini, indit atau susunan acara, didahului dengan tembang pengaksame, kemudian menghadirkan calon mempelai laki yang di Ampu, disebut “Ratna Adi” menempati arena upacara. Begitu juga diikuti oleh pihak Pengampu (calon mertua laki) yang disebut “Vudiane”. Sementara calon mertua perempuan disebut “Widiane”. Mereka juga menempati arena upacara, sambil tetap melantunkan tembang pengaksame.
Setelah pihak Ranta Adi dan Vudiane yang didampingi Widiane, baru kemudian diucapkan lapaz pengampuan. Ratna Adi atau yang di Ampu, terlebih dahulu mengucapkan istigfar tiga kali, mengucapkan kalimat sahadat, shalawat serta mengucapkan pengakuan dan kesanggupan sembari menjabat tangan Vudiane. Adapun kalimat yang diucapkan Ratna Adi adalah :

Bismillahirrohmanirrohiem...
“Saya...(sebut nama), dengan ikhlas, bermohon kepada ayahanda (sebut nama), menyerahkan diri sebagai putra ayahanda. Selanjutnya saya berjanji, untuk senantiasa patuh dan tunduk kepada ayahanda, selaku orang tua saya. Dan saya berjanji sebagai masyarakat Adat Sasak, menjunjung tinggi titi-tata, tertib tapsila, adat Sasak Adi Luhung....”
Kemudian disambut oleh sang Pengampu (vudiane) dengan ucapan :
Bismillahirrojmanirrohiem...
Dengan memanjat puji syukur kehadirat Allah swt. Pada hari ini, dengan tulus ikhlas, saya menerima (sebut nama yang di Ampu) sebagai anak saya fiddunia wal akherat.
Setelah itu pihak pemangku menanyakan sebagai kalimat penyaksian dengan ucapan : “Sampun napi para hadirin, tunas redhe pelungguh sami, sampun sah!” Dalam hal ini, para saksi yang dalam istilah Sasak disebut “subrake sane” juga turut mengucapkan ‘sah’.
Setelah Ratna Adi ngampure kepada para penglingsir adat dan vudiane serta widiane, selanjutnya penyampaian “penjam-jam” dan proses pengampuan secara adat. Kesakralan penjam-jam ini berupa tembang-tembang yang sarat dengan nasihat kepada Ratn Adi dan semua hadirin.
Berikutnya adalah, penyerahan pusake oleh Pengampu (vudiane) kepada Ratna Adi (yang di Ampu). Penyerahan pusake (biasanya keris) ini sebagai simbol telah terikatnya secara moral budaya antara Vudiane dengan Ratna Adi. Sebagai simbul satu bentuk kecintaan, pemberian semangat hidup kepada Ratna Adi oleh Vudiane. Dilanjutkan kemudian dengan pemecahan telur sebagai simbul budaya oleh Ratna Adi. Selain telur ada juga gula merah, kelapa, beras kuning, moto siong, wadah penginang kuning, sekar pamunci, air dengan kembang mayang (air kum-kuman) dengan wadah penginang kuning, beras putih, benang setokel. Semua bahan-bahan ini sebagai piranti adat yang perlu disiapkan, sekaligus sebagai penyempurnaan pengampuan adat ini.
Setalah telur diinjak dan dipecahkan oleh Ratna Adi, sebagai tanda keikhlasan menjadi pengampu, maka acara selanjutnya dilanjutkan dengan penaburan beras kuning kepada semua penglingsir adat yang ada sebagai saksi utama atau subrake utame. Selain penaburan beras kuning, juga diikuti dengan caca rambu atau uang saksi yang merupakan pengukuhan secara simbolik sebagai saksi utama dalam pengampuan. Dengan telah dibagikannya caca rambu berupa uang ini, sekaligus sebagai tanggung jawab para saksi, juga agar tidak lepas sampai pada masa-masa mendatang. Pembagian caca rambu ini, meskipun nilai nominalnya sangat sedikit (Rp.1.000), namun maknanya secara budaya, sangat banyak dan sakral. Semoga!

Penulis : Pranata Humas (PH) Lombok Barat.

Kondisi Kebudayaan Sasak Era Pariwisata Lombok

Kondisi Kebudayaan Sasak Dalam Era Pariwisata

Tak ada yang tahu pasti, berapa banyak orang yang melakukan perjalanan wisata dengan tujuan fenomena spiritualistik. Kendati belakangan dikenal istilah wisata budaya. Kalau kita telusuri, mereka melakukan perjalanan wisata sebenarnya tidak terlepas dari dorongan spiritualistik yang dapat menggugah suasana kejiwaan. Lalu bagaimana kondisi kebudayaan Sasak dalam era pariwisata?

Kebudayaan pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak pernah jelas bingkai formatnya, karena format tersebut terbentuk lewat proses dialektika antara berbagai penawaran dan tantangan, mengusahakan dan mencoba membentuk sosok format.
Sebagai contoh, kebudayaan Sasak dalam perjalanan sejarah juga mengalami transportasi, penyesuaian dan akomodasi. Setiap kelompok masyarakat memiliki manipestasi rasa seninya masing-masing yang terwujud dalam bentuk seni tari, seni suara, seni lukis, seni drama dan lain-lain yang telah memperkaya daerah seribu masjid ini.
Perkembangannya sangat pesat, memenuhi keperluan dalam upacara-upacara adat dan hiburan. Namun, akibat majunya teknologi dan kesempatan ekonomi, masyarakat tidak lagi menganggap kesenian (gamelan) pada saat pesta berlangsung, tapi cukup dengan memutar audio tape recorder saja.
Seni gamelan dan seni tari di Lombok pada beberapa dekade yang lalu, berangsur-angsur berkurang bersamaan dengan pesatnya perkembangan agama dan meningkatnya kesadaran beriman dari lapisan masyarakat. Dengan demikian, mereka menganggap bahwa, memainkan gamelan adalah suatu pekerjaan yang sia-sia dan melalaikan orang dari mengerjakan ibadah. Hal yang sama, juga seni “tembang” di kalangan suku Sasak, nampaknya semakin surut, karena generasi-generasi mudanya hampir tidak ada lagi berminat untuk mempelajarinya.
Realitas yang menonjol pula adalah, dengan adanya mobilitas masyarakat, maka terjadi interaksi antara kebudayaan masyarakat yang satu denga kebudayaan masyarakat lainnya. Dalam interaksi itu terjadi proses saling belajar-mengajar, saling membanding dan saling mengkritik.
Kebudayaan dewasa ini diidentikkan dengan kebudayaan barat, karena kebudayaan baratlah yang kini telah memiliki kekuasaan dan keunggulan progresif dan mampu untuk mempengaruhi kebudayaan lain dengan amat dahsyat. Tak terlepas juga kebudayaan yang ada di daerah kita Lombok Barat yang Patuh Patut Patju
Dampak pariwisata terhadap kelestarian kebudayaan tertentu, banyak terungkap dari berbagai kalangan. Kebudayaan Sasak misalkan. Kondisinya saat ini dapat dikatakan belum siap untuk menghadapi era perkembangan pariwisata. Hampir sebagian besar wisatawan yang datang ke Lombok menyatakan keluhannya karena belum adanya pementasan kesenian secara kontinyu yang dapat mereka saksikan. Demikian pula keluhan-keluhan yang disampaikan oleh biro-biro perjalanan wisata yang mengatur paket-paket tour para wisatawan. Kesenjangan lebih dirasakan, karena Lombok begitu dekatnya dengan Bali, dimana atraksi-atraksi kesenian telah dikemas secara professional dengan pementasan-pementasan yang sudah terjadwal rapi.
Kenyataan itu terjadi, karena belum adanya tempat-tempat pementasan yang memadai terutama yang berada di jalur-jalur wisata yang potensial seperti jalur antara Senggigi menuju pantai Kuta di Lombok Tengah sana. Kondisi ini saat ini, dirasa sudah terbengkalai. Padahal potensi kesenian yang dapat ditampilkan hampir terdapat di tiap-tiap desa/kecamatan di Pulau Lombok merupakan hasil pembinaan yang telah dilakukan selama ini.
Beberapa hotel bintang di Senggigi dan Kuta, telah mencoba untuk mementaskan kesenian Sasak secara berkala. Namun masih dikeluhkan kualitasnya kurang memadai dari segi penampilannya. Dan bahkan biaya untuk pementasan dirasakan masih terlalu mahal.
Jadi, bagi wisatawan yang tidak menginap di hotel tersebut, sulit rasanya dapat menyaksikan pentas budaya yang ditampilkan oleh hotel bintang tersebut.
Dari kenyataan itu, dirasakan oleh wisatawan bahwa kehidupan malam masih sangat tidak memadai, sebab sekembalinya mereka ke hotel setelah melakukan tour seharian, pada malam harinya tidak ada lagi sesuatu yang mereka dapat saksikan. Demikian pula dalam rangkaian tour mereka, tidak dijumpai titik-titik persinggahan sebagai tempat mereka menyaksikan atraksi-atraksi kesenian, sehinga jarak tempuh dari sau obyek ke obyek wisata yang lain terasa jauh.
Hasil seni yang sudah cukup berkembang dewasa ini, hanya kerajian berupa cenderamata (gerabah) yang dapat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi peningkatan pendapatan masyarakat pengrajin.
Jika mengkaitkan pariwisataa dengan kebudayaan tertentu, perlu dibedakan adanya dua faktor yaitu, faktor ekstrinsik dan intristik. Faktor ekstrinsik, meliputi tingkah laku para wisatawan (wisman) seperti bertelanjang, kebebasan seksual, kebiasaan minum-minuman keras, sikap angkuh dan egois dan sejenisnya. Menurut mereka, semua itu dipandang lumrah. Sementara dimata kita, hal itu tidak layak, bahkan tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Faktor intristik; segala gagasan dan pola tingkah laku dalam menyambut wisatawan. Terlihat dalam faktor ini, olah budaya yang terpenggal, karena disesuaikan dengan ketersediaan waktu para wisatawan yang terbatas. Belum lagi dengan merubah budaya yang bersifat ritual untuk dipentaskan, sehingga terjadi kegiatan budaya komersial yang boleh disebut budaya peragaan.
Menghadapi faktor ekstrinsik di atas, maka kita sebagai daerah yang ingin mengandalkan pariwisata sebagai pemasok pendapatan, perlu segera ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh wisatawan di daerah ini. Dengan menetapkan lokasi-lokasi yang terisolir dari lingkungan masyarakat sekitar sebagai lokasi wisata, dapat diperlonggar dari aturan-aturan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Lombok Barat memiliki peluang kelonggaran yang cukup besar, kendati sangat kecil sekali kesenian-kesenian yang sifatnya magisreligius. (L.Pangkat Ali).

Peran Majelis Adat Sasak Lombok

Tata Budaya Adat Sasak di Lombok
Peranan Lembaga Majelis Adat Sasak di Lombok

SETELAH diteliti dan dicermati, peranan Lembaga Majelis Adat Sasak di Lombok makin berkembang. Berbagai macam ungkapan akan pentingnya meneliti kembali kebudayaan, merupakan salah satu penunjang kebudayaan secara nasional, termasuk juga kebudayaan suku Sasak di Lombok.

Sejak sekian lama lembaga Majelis Adat Sasak (MAS) didirikan, tidak sedikit terdapat hal-hal yang perlu mendapat pembenahan untuk menertibkan hidup dan kehidupan berbudaya, termasuk adat dan kebiasaan sehari-hari, sudah jauh dipengaruhi oleh kebiasaan yang datang dari luar.
Dari berbagai macam upacara adat yang berlaku dan dilaksanakan di Pulau Lombok, maka adat perkawinanlah yang masih sangat dominant dilaksanakan oleh masyarakat Sasak, yaitu mulai dari merari’ sampai kepada penyelesaian selanjutnya, banyak sekali menimbulkan persoalan yang terkadang terjadi pertentangan dalam masyarakat.
Untuk itu dirasa perlu memberikan pengungkapan melalui referensi ini, dan tidak berarti untuk menggali hal-hal yang berlaku di zaman lampau, terutama zaman masyarakat feodal. Tapi yang berlaku sehari-hari sebagaimana patokan akan timbulnya bermacam-macam upacara dalam perkawinan dengan segala pengertiannya.
Terutama mengenai hukumnya, sehingga setiap perkawinan dengan segala macam upacaranya, dipatuhi oleh masyarakat. Sebagai dasar hukumnya, setiap perkawinan akan sah, jika telah melalui tiga macam hukum yaitu : Hukum Negara, Hukum Agama dan Hukum Adat.
Kendati ketiga hokum itu terpisah-pisah, yaitu hukum negara ditimbulkan dengan undang-undang negara, hokum agama memiliki aturannya sendiri dan hukum adat juga mempunyai aturan pelaksanaannya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan, dengan kata lain, jika hukum Negara saja yang dilaksanakan, maka perkawinan itu tidak sah menurut hukum agama dan sebaliknya, jika hanya hukum agama saja yang dilaksanakan, maka perkawinan itu tidak sah menurut hukum Negara. Semenyata masing-masing hukum tersebut memiliki sangsi sendiri-sendiri.
Mengenai hokum perkawinan Negara termaktub dalam undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 yang sekaligus termasuk dalam hokum agama, juga sudah memiliki ketegasan dalam pelaksanaan dan sangsinya. Dalam hal ini, yang penting diungkapkan adalah permasalahan adat dalam perkawinan suku Sasak dengan segala macam upacaranya.

Masalah Merari’
Soal merari’ dalam pengertiannya yaitu, seorang lelaki mengambil kawin seorang perempuan yang akan menjadi istrinya. Dalam pelaksanaan upacara adatnya ada beberapa tahap yaitu :
- Merari’
- Melaksananan Sejati/selabar
- Mengambil Wali
- Membait Janji
- Sorong Serah
- Nyongkol
- Balik Lampak
Mengenai merari’ mungkin tak pelu dikupas, karena masyarakat adat sudah mengetahuinya, yaitu seorang perempuan diambil kawin oleh seorang lelaki secara melarikan diri berdua. Selain cara itu, ada lagi cara yang berkembang belakangan ini ialah, secara belakoq (meminang) yang tentunya kedua cara ini dalam pelaksanaannya masing-masing berbeda. Cara yang pertama melakukan sejati/selabar dan cara kedua yaitu belakoq, langsung mengadakan perundingan bagi kedua belah pihak.
Pengertian sejati/selabar ialah, (mesejati), sebagai laporan kepada perangkat desa (kades atau kadus) bahwa di desanya telah ada orang yang melakukan merari’ untuk kemudian akan menjadi suami-istri. Sedangkan selabar, menyebarkan kepada masyarakat tentang telah merari’-nya seorang lelaki dengan seorang perempuan. Tahap selanjutnya, meminta wali kepada orang tua pihak perempuan untuk disahkan menjadi suami-istri secara Agama Islam. Meskipun soal ini tidak terpisahkan dalam tahapan pelaksanaan adat, namun pelaksanaannya murni berdasarkan Agama Islam dalam perkawinan adat Sasak.

Membait Janji
Membait Janji ini sebenarnya merupakan perundingan antara pihak keluarga pengantin lelaki dengan pihak keluarga pengantin perempuan untuk menentukan, kapan penyelesaian adat akan dilaksanakan, termasuk jumlah biaya yang diperlukan. Karena dalam peralatan itu, kedua belah pihak akan mengundang sanak keluarganya untuk menyaksikan penyelesaian adat.
Dalam perundingan ini, banyak sekali pertentangan yang terjadi, sehingga kadang-kadang terjadi perselisihan yang seru dan menyebabkan gagalnya perundingan, karena masing-masing pihak tak mau mengalah. Hal ini terjadi karena; Pihak perempuan terlalu tinggi permintaan yang diajukan kepada pihak keluarga lelaki sebagai sumbangan, Persyaratan yang tak mungkin dipenuhi oleh pihak lelaki.
Terjadinya pertentangan ini mungkin saja disebabkan, karena pihak keluarga perempuan menganggap pihak keluarga lelaki masih sebagai musuh di dalam adat, ditambah lagi, pihak keluarga perempuan terkadang lupa bahwa, perkawinan itu merupakan hal yang suci dan sakral. Dan merupakan kepentingan sosial, lalu digeser kepada kepentingan ekonomi.

Masalah gantiran
Yang kurang disadari oleh kedua belah pihak adalah, anggapan sebagai “musuh dalam adat”. Meskipun berlaku dalam hakekat yang sebenarnya setelah akad nikah diikrarkan, maka kedua belah pihak sudah terikat sebagai keluarga. Bukan saja pihak mempelai, namun kedua keluarga sudah bersambung menjadi keluarga besar.
Berunding di dalam keluarga yang tidak menganggap masing-masing pihak sebagai musuh, sekaligus kedua belah pihak sebagai partner yang memiliki tanggung jawab yang sama. Zaman lampau, soal besarnya gantiran atau pisuke, mempunyai patokan tertentu, yaitu :
- Satu ekor kerbau/sapi dewasa dan biasanya yang jantan (jagiran)
- 100 catu beras (1 catu = 2,5 – 3 kg )
- Kayu api secukupnya
- Bumbu-bumbu/ragi secukupnya
Namun sekarang, untuk praktisnya diperhitungkan dengan nilai uang yang kadang-kadang jumlahnya sangat besar, seolah-olah memaksakan bagi pihak lelaki untuk memenuhi nilai tersebut.

Masalah Denda
Masalah denda yang diterapkan dalam hukum adat Sasak, terutama yang berlaku dalam adat perkawinan dengan pengertian bahwa, setiap pelanggaran yang dilakukan dalam adat, sudah tentu memiliki sangsi dan penerapan hukumnya. Zaman dulu, banyak sekali hukuman yang diterapkan yang kadang-kadang terlalu keras, namun belakangan, sudah disesuaikan dengan keadaan. Misalnya pelanggaran yang dihukum dengan hukuman mati, sekarang cukup dengan hukuman denda pati dalam sorong serah.
Ada beberapa pelanggaran dalam adat perkawinan yang biasa berlaku adalah :
- Malagandang, berupa paksaan terhadap seorang perempuan yang tidak mau dilarikan oleh seorang lelaki.
- Merari’ Kenjelo, yaitu merari’ pada siang hari, karena merari’ itu, lazimnya pada malam hari.
Ada juga pelanggaran yang dianggap lebih enteng, misalnya :
- Babas Kuta yaitu, melewati batas desa bagi orang merari’ berlainan desanya.
- Nglengkak, yaitu seorang perempuan yang lebih muda meninggalkan kakaknya lebih dulu merari’
- Nyalin Panji, yaitu berganti-ganti utusan untuk melakukan perundingan.
Selain pelanggaran di atas, masing-masing desa memiliki istilah-istilah sendiri dalam memberikan pelanggaran. Pelanggaran yang terjadi, sangsinya merupakan semacam pembayaran denda yang dikeluarkan pada saat upacara sorong serah, yang setelah semuanya terlaksana, lalu ditutup dengan kalimat “tan onang kebaos malik” yang artinya, apa yang sudah diputuskan, tidak boleh diganggu gugat lagi.
Akhirnya kita masyarakat adat berharap kepada pemangku dan pengempu masyarakat Sasak untuk memaklumi bahwa, adat Sasak merupakan suatu pengarahan untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat Sasak. Kedua, adat Sasak tidak terlalu ketat untuk tidak dilaksanakan, karena segala persoalan akan dapat diatasi dengan musyawarah. Ketiga, merupakan tugas dan peranan Mahelis Adat Sasak untuk mempersempit dan memperkecil akibat dari pertentangan dalam masyarakat, terutama mengenai pertentangan dalam adat perkawinan yang masih banyak dipengaruhi dan dicampur aduk dengan adat dari luar. Semoga sumbangan tulisan ini bermanfaat….(L.Pangkat Ali)

Asal Mula "Kopang" (Versi Lalu Syafii)

Asal Mula Desa Kopang (Versi Lalu Syafii)

Asal mula adanya Kopang, diungkap berdasarkan suatu percakapan antara tiga orang budayawan. Mereka adalah Lalu Syafii (Desa Kopang), Lalu Mungguh (Almarhum) dari Kota Mataram dan Gde Parman (Almarhum) dari Lombok Barat. Mereka bertiga terlibat percapakan, berselisih pendapat, apa sebenarnya menjadi dasar sehingga muncul Kopang?
Menurut penuturan Lalu Syafii, dalam percakapan tersebut, para budayawan ini mengungkapkan pendapat dan versi masing-masing. Lalu Mungguh (almarhum) mengeluarkan pendapat, konon katanya, ada sebuah kampung di Sumatrea yang bernama kampung Kopang. Mungkin karena ada famili atau handai tolan, sehingga ada diantara mereka yang datang ke Kopang ini. Dengan begitu, kemungkinan ada ide dari mereka yang menamakannyan Kopang. Begitu pendapat Lalu Mungguh.
Sementara Gde Parman (almarhum) memiliki versi lain. Menurut beliau pernah mendengar adanya satu pohon yang namanya pohon Kopang. Tapi pohon tersebut tak diketahui pasti, entah berada dimana.
“Baiklah,” kata Lalu Syafii. “Berarti kita semua berbeda pendapat,” lanjutnya. Versi Lalu Syafii sendiri, yang lebih dapat dibuktikan sekarang. Sementara pendapat kedua almarhum budayawan tersebut, belum diketahui adanya pembuktian.
Dikatakan mantan anggota DPRD Lombok Tengah ini, Kopang itu berasal dari sebuah istilah, ‘kope’ yang berarti ‘unggul’ Cuma ditambah huruf ‘ang’ menjadi ‘Kopang’. Itu menurut kosa kata bahasa Sasak, sesutu yang ditekankan maknanya, lalu huruf ‘e’ yang ada di depannya berubah menjadi ‘a’ ditambah dengan huruf ‘ng’. Jadi Kopang itu, merupakan suatu jawaban pengakuan diri dalam berhadapan dengan orang lain.
Sebagai suatu ilustrasi percakapan, “kok beraninya kamu berlaku sedemikian itu? Bagaimana kopenya”?
“O…, Kopang ko!”
Inilah suatu bukti monumentasi. Kalau itu yang dimaksud dengan sumber pembuktian adanya nama Kopang. Bukti lain lagi apa? Ke‘kope’an Kopang itu dibuktikan dengan adanya salah seorang ‘Pepadu Perisean’ (jagoan dalam olah raga magis rakyat Sasak-Lombok) yang dilarang oleh pemerintah zaman dulu, hanya berada di Kopang. Pepadu tersebut bernama Bapen Tijah dari Bakan.
Memang banyak pepadu kala itu. Tapi kenapa pepadu yang dari Kopang yang harus dilarang. Karena di arena, suatu ketika perisean digelar, lawan Bapen Tijah, langsung meninggal dunia akibat pukulan dan hantaman rotan Bapen Tijah. Jadi, pemerintah saat itu melarang, Bapen Tijah tidak boleh lagi turun sebagai pepadu.
Bukti lain yang disebutkan Lalu Syafii, jauh sebelum itu, dalam soal peperangan misalnya. Raden Wiracandra dari Praya yang konon katanya begitu ‘kope’ sampai-sampai bisa mengangkat puluhan ton barang, hanya menggunakan tangan kiri. Namun toh akhirnya bisa terbunuh oleh pepadu dari Kopang, yaitu Jero Wirasari yang membunuh Raden Wirecandra dalam siap puputan (semacam sayembara) di Bodak.
Saat itu bertindaklah Praya. Diadakan lagi puputan, untuk mencari siapa yang benar dan salah. Kedua pucuk pimpinan ini sudah menyatakan ikrar. Siapa yang salah, dia yang harus mati.
Ketika Praya menyerang Kopang, ternyata yang menjadi korban kala itu hanya orang-orang Praya. Jadi, Praya sudah merasa salah kaprah. Mereka menyesal. Dan untuk menebus korban yang begitu banyak, akhirnya kedua pucuk pimpinan mengadakan lagi siap puputan. Namun Praya, dibawah pimpinan Wiracandra berhasil terbunuh oleh Jero Wiresari. Berarti saat itu Wirecandralah yang bersalah.
Itulah suatu monumentasi besar yang membenarkan adanya ‘kope’ yang dimaksudkan adalah ‘Kopang’ itu. Cuma negatifnya, komentar Lalu Syafii, kenapa tidak dinamakan ‘kope’ saja. Tapi karena, ya itu tadi, ‘kopang’nya itu sudah bernada pengakuan diri. Semestinya orang lain yang harus mengakui keunggulan lawan, bukan dirinya sendiri. “Itu sedikit negatifnya,” papar lelaki separuh tua itu terbata-bata.
Tapi itu wajar pada saat adanya persoalan keras yang ujung-ujung emosi. Seperti yang pernah terjadi, “kita sedang enak-enak tidur, lalu dibakar oleh Praya,” ceritanya sembari memaparkan, Kopang dianggap terlalu membeo ke pemerintah Bali kala itu. Dianggap penghianat. Sementara Praya saat itu sedang saling intip dan bersitegang dengan pemerintah Bali.
Gara-gara Raden Wiracandra dipanggil oleh Pemerintah Bali untuk dihukum, saat itulah Kopang dianggapnya yang punya ulah, tapi ternyata tidak demikian. Yang lebih dulu dipanggil saat itu adalah pemerintah Mantang di bawah pimpinan Jero Buru, karena dianggap bersalah, maka terbunuhlan oleh Kerajaan Bali di bawah pimpinan Anak Agung.
“Ini ada riwayatnya,” cetusnya. Bali setelah menyadari pertikaian dalam wilayah kekuasaannya itu, antara suku Sasak saat itu sukar mereda. Dan dinilai bernuansa Sara. Lalu pemerintah Bali melahirkan ide. Agar langgengnya roda pemerintahannya, salah seorang putra raja Bali akan dikhitan lalu masuk Islam. Putra satu-satunya yang didapat dari Dende Loyangsari, putri seorang Dende dari Kalijaga yang bernama Datu Pangeran yang akan ditetapkan sebagai raja di Lombok.
Saat itu di Peresak (batas antara Kopang dengan Mantang) diadakan gawe besar. Mantang dan Kopang menjadi inen gawe (tuan rumah) dalam acara tersebut. Nah, ketika itu dendamnya Raden Wiracandra terhadap pemerintah Bali masih berkecamuk. Akhirnya dia bikin akal dan inisiatif. Tengah malam mereka mengirim surat kepada dua pucuk pimpinan Kopang dan Mantang. Isi suratnya bernada ancaman dan sudah tentu akan membias ke pemerintah Bali.
Rencana acara gawe untuk menyunat putra Bali, akhirnya digagalkan, karena Kopang dan Mantang saat itu dianggap bersekongkol dengan Praya. Anak Agung akhirnya diboyong ke Mataram. Jero Buru dari Mantang dipanggil dan dibunuh di Cakra.
Seharusnya Jero Wiresari dari Kopang juga harus dipanggil pemerintah Bali. Tapi entah karena pertimbangan lain, justru yang dipanggil adalah Raden Wiracandra yang mengakibatkan kemarahan yang luar biasa bagi Raden Wirecandra. “Kalau begitu, Jero Wiresari juga penghianat, harus titangkap,” begitu kira-kira ungkapan kemurkaan Raden Wiracandra.
Akhirnya pihak Praya menggempur Kopang. Bukannya memenuhi panggilan pemerintah Bali, namun membakar Kopang. Tapi Kopang saat itu dapat mengalahkan Praya dan mundur sampai di Bodak dan membikin pondok di Gawah Gandor sampai mereka bertahan ditempat ini dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Bahkan Jero Wirasari dari Kopang, juga ikut mengantar jenazah Raden Wirecandra langsung ke Praya. Dalam perang kesatria oleh Jero Wirasari, langsung kepada keluarga raden Wirecandra ditanyakan, siapa lagi yang mau tampil menggempur Kopang. Namun jawaban dari keluarga Raden Wirecandra, tidak ada lagi yang mau tampil. Sudah cukup dengan dia (Raden Wirecandra) saja.
“Kisah ini saya tahu, karena Jero Wiresari, itu ‘baloq’ saya,” kenang Lalu Syafii sambil menunjukkan makamnya sekarang berada di Pemenang, Lombok Utara, karena dibunuh oleh Anak Agung dalam sebuah pertempuran di Pememang-KLU.