Selasa, 28 Juli 2009

ANDANG-ANDANG

Andang-andang dalam istilah suku Sasak adalah, semacam simbol untuk memulai sebuah pekerjaan. Andang-andang terdiri dari lekes (daun sirih dan buah pinang) sebanyak sembilan buah, tembakau dan sembilan batang rokok, kepeng bolong 225 keping, beras, sebutir telur ayam kampung dan benang segelinting (segulung benang) yang ditempatkan dalam media penginang kuning (semacam baskom kecil terbuat dari kuningan).
Pekerjaan yang harus dimulai dengan andang-andang adalah, menikah, membuat rumah, meminta obat kepada belian atau dukun, belajar ilmu pengetahuan atau memwarisi sebuah mantera, menenun kain lempot umbak (kain khusus untuk menimang bayi yang biasanya dimiliki secara komunial oleh sebuah keluarga besar), dan menggali tanah kubur bagi seorang yang meninggal. Andang-andang ini disiapkan oleh orang tua yang sudah memiliki cucu. Nominal sembilan pada lekes dan rokok adalah simbol lubang pada anatomi tubuh yang harus dijaga agar penyakt tidak masuk ke dalam tubuh banusia.
Andang-andang adalah simbol bagaimana sebuah pekerjaan dikerjakan dengan fokus dan selaras dengan niatan awalnya; sebagaimana makna andang-andang yakni, menyatukan niat/kehendak dan perbuatan/pekerjaan agar niat dan pekerjaan tersebut tidak melenceng serta selalu berjalan mulus. Pada dunia moderen, mungkin hal ini bermakna fokus pada sebuah pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada konteks penggunaannya yaitu untuk menandai sebuah pekerjaan yang berhubungan dengan hidup dan mati. Tak heran, jika kemudian tradisi andang-andang menjiwai masyarakat Sasak yang terkenal sebagai pekerja keras.
Andang-andang bukan sebuah tradisi membayar pekerjaan; upah, meskipun disana ada uang. Ia domain faktor dari sebuah pekerjaan. Tanpa kehadiran andang-andang, sebuah pekerjaan tidak bisa dimulai, seorang tukang tidak akan berani memulai pekerjaannya jika dihadapannya belum tersedia/hadir andang-andang. Karena memulai pekerjaan tersebut, tanpa didahului oleh simbol andang-andang, berarti telah memulai pekerjaan dengan terburu-buru atau tanpa arah, niat dan fokus yang jelas. Dari sini kita bisa melihat pemaknaan masyarakat Sasak dalam memahami etos kerja. Mereka selalu memulai pekerjaan dengan prinsip kehati-hatian dan mengutamakan fokus dan konsentrasi dalam pengerjaan pekerjaannya.

Minggu, 19 Juli 2009

Mitos-Mitos Dalam Keseharian Suku Sasak

Seringkali mitos-mitos dalam suku Sasak dihubungkan dengan akibat yang menyeramkan, sehingga banyak anggota penganut suatu budaya yang tidak mau mengambil resiko, memilih menurut saja pada mitos yang berlaku. Di samping itu, terdapat banyak mitos yang terkait dengan basis etik dan tata nilai supranatural yang tidak boleh dilanggar/dilakukan.
Beberapa mitos ini (walaupun tidak terkait dengan sejarah tertentu), namun dianggap memiliki efek mistik (seperti kualat, mamali dan lain-lain) yang cukup kuat bila dilanggar. Maka masyarakat Sasak senantiasa menghindarinya. Berikut ini, ada beberapa mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Sasak.

Lewat di Penjemuran

Di rumah orang Sasak, tempat menjemur pakaian diatur pada ruang (space) tersendiri di bagian pojok yang tidak dipakai sebagai lalu lalang orang. Pengaturan ini dilakukan berkaitan dengan fungsi penjemuran yang digunakan untuk menjemur pakaian dari jenis apa saja, bahkan hingga pakaian gombal atau celana dalam. Fungsinya yang terlalu umum menyebabkan orang Sasak berpantang lewat di penjemuran karena dipercaya dapat menghilangkan ilmu kedigdayaan yang dimiliki (Sasak: campah).

Transaksi Malam hari

Hingga kini sama sekali tidak diketahui atau tidak ada yang berusaha menyingkap alasan tidak dibolehkannya transaksi mengeluarkan uang pada malam hari. Mitos ini terutama banyak dianut di desa-desa, tetapi sudah tidak lagi dianut oleh masyarakat kota. Tapi lebih baik dipertimbangkan untuk menagih utang di malam hari karena sangat berpeluang untuk tidak dibayar. Begitu pula dengan jual beli atau pinjam meminjam peralatan yang terbuat dari bahan besi, banyak yang tidak melakukannya di malam hari. Satu-satunya alas an yang masuk akal, mengapa dihindari transaksi malam hari, mungkin berkaitan dengan keraguan, kalau-kalau terjadi salah hitung (untuk uang) atau dapat menimbulkan cidera kalau melakukan transaksi yang berhubungan dengan besi jika dilakukan malam hari.

Ketika Sandikale

Sandikale adalah waktu antara matahari akan tenggelam, tetapi belum tiba waktu magrib. Pada waktu ini, langit memancarkan sinar kemerahan. Merupakan saat-saat pergantian dari siang menuju malam. Pada saat ini, segala bentuk permainan kesenangan dilarang terus berlanjut. Alasan yang dikemukakan untuk mendukung mitos ini, bermain pada saat itu dapat mendatangkan penyakit, padahal secara alami pada saat itu memang cuaca akan gelap, waktu untuk sholat magrib akan tiba yang dilanjutkan dengan waktu untuk makan malam.

Sabtu, 11 Juli 2009

KONSEP DAN MAKNA SIMBOLIS TRADISI SUKU SASAK

Sesekali kita tentu pernah menghadiri upacara tradisional masyarakat suku Sasak di Lombok. Umpamanya upacara daur hidup seperti cukuran bayi, khitanan atau pengantin. Ada pula upacara kematian dan upacara agama.
Di sana kita sering temukan ada piranti tradisional seperti beras kuning, kemenyan, gula kelapa dan lain-lain. Seseorang yang merasa sok alim, lalu berbisik; “syirik”. Benrkah demikian?
Mari kita coba telusuri pilosofi apa sebenarnya pada benda-benda tersebut. Apa pilosofi yang lahir dari kearifan rakyat jelata ini sebenarnya. Kita lihat misalnya beberapa saja sebagai contoh seperti di bawah ini.

Beras Kuning.
Beras kuning yang dicampur dengan bunga setaman dan beberapa uang, biasa dihadirkan pada aneka upacara (ritus) kehidupan. Misalnya pada upacara selamatan rumah, cukuran bayi (ngurisan), khitanan, pengantin dan agama. Berlandaskan pikiran-pikiran kuno yang animistik, dinamistik atau mungkin hinduistik, kita lalu cepat menapsirkan bahwa, benda-benda tersebut semacam umpan atau santunan kepada roh halus, agar tidak mengganggu hajat mahluk manusia.
Benda-benda tersebut di atas semacam korban ritus untuk ruwatan. Hal itu merupakan tebusan kepada para roh pengganggu atau sang kumilit-kumalat untuk membuat mereka menjadi tentram, sehingga tak bernapsu untuk mengacaukan aktivitas manusia. Dalam kehidupan masa lalu, memang amat mungkin itikad semacam itu pada kalangan masyarakat suku Sasak.
Ada sesaji-sesaji untuk arwah orang yang telah meninggal dalam bentuk “sesaji pelayaran”. Ada pula sesaji untuk hantu pengganggu bumi, penunggu pohon yang akan ditebang atau bukit yang akan digalas. Itikad untuk memberi korban dalam kaitan ritus tersebut bisa juga terjadi, karena kesalahpahaman atau keawaman pelakunya.
Sekarang coba kita lihat sekaligus menyimak apa yang diterangkan oleh para Kyai Sasak mengenai piranti upacara beras kuning. Beras kuning dalam tradisi suku Sasak disebut Moto Siong, gula kelapa, gula merah dan kelapa. Apa makna simbolisnya?
Beras kuning adalah lambing keagungan, pangkat tinggi dan kedudukan. Beras ditaburkan sebagai peringatan agar, si bayi (umpamanya dalam upacara ngurisan), kelak tidak tergoda atau terhanyut oleh godaan keagungan. Lalu ada pula bunmga setaman. Bunga setaman ini memiliki sifat yang harum, memberi kelenaan. Ada pesona yang ada di sana. Kenikmatan memandang serta mengendusnya.
Nah, itulah simbul sifat wanita. Ada lagi uang logam. Namun sekarang, tak mesti pakai uang logam. Uang kertas pun jadi. Karena uang ini, merupakan simbul harta kekayaan. Diharapkan agar anak atau manusia yang sudah diupacarakan itu, tidak perlu terperangkap oleh pesona harta benda semata.
Gula merah dan kelapa, menghantarkan komposisi warna simbolis merah dan putih. Merah adalah warna darah sebagai warna kehidupan. Dan warna putih adalah warna nuftah cikal bakal sang jabang bayi. Dus ajarannya adalah, agar manusia selalu sadar serta ingat aka asal mula kejadiannya. Ingat akan fitrahnya, kemudian ingat akan tugas yang diemban sebagai satu-satunya mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini.
Konon bumi, langit, samudera luas, gunung dan bintang-bintang, tidak sanggup mengemban amanat Tuhan yang amat berat itu. Namun manusia menyatakan siap memikulnya. Perjanjian gaib dan suci sebelum kita dilahirkan, semuanya tertulis di Laukhil Mahfuz. Demikian tutur para Kyai kita dalam naskah-naskah kuno.

Kemenyan.
Hampir semua orang sekarang mengangap bahwa, membakar kemenyan sewaktu ada hajat rowahan adalah syirik, atau perbuatan animisme. Penulis sendiri pernah sesekali dengan sengaja mengamatinya dan mencoba untuk bertanya. Jawabannya seperti ini; “Harum-haruman (diantaranya karena asap kemenyan) adalah, sadakah. Memberi bau yang harum itu sunah hukumnya. Sebagai tambahan pula, sebagaimana diketahui secara nyata (bukian hanya tiori saja) bahwa, dulu tata cara orang kampung Sasak (petani) itu, berbaur dengan kandang ternak dan unggas. Maka apabila ada hajatan, merupakan hal yang pantas, kalau orang kemudian membakar kemenyan untukmenutupi bu apek dari kandang sapi atau kandang itik di dekat rumah sang empunya hajat.
Kesimpulnnya, kalau mau pakai minyak pengharum (minyak pender) atau pengharum lainnya, pasti harganya mahal. Nah, bukankah ini merupkan kearifan yang hebat dalam konsep-konsep tradisional kita? Dan apabila kita sudah hidup dalam gedung-gedung mewah dan bersih yang sudah dip el menggunakan bahan pembersih lantai merek terkenal,… Ya bakan kemenyan memang jadi tidak mustahil lagi.


Air Kum-kuman.
Ada lagi yang namanya air kum-kuman, yaitu air yang diisi dengan bunga setaman. Air ini gunanya untuk membasuh kepala anak yang akan dicukur atau pembasuh tangan orang yang akan membaca al-quran, hikayat Nabi, lontar dan lain-lain yang dianggap sakral.
Syirikkah ini? Atau kita biarkan bekas tangan orang yang baru saja selesai makan ‘begibung’, lalu mengelus kepala bayi kita yang akan dicukur? Kita biarkan tangan berbau nikotin tembakau atau rokok pilitan, lalu memegang al-quran atau berjanzi? Mana yang lebih arif dengan air kum-kuman itu atau tak perlu mencuci tangan, sebab itu barang bid’ah? Memang masih banyak lagi benda-benda sebagai simbul yang belum dipahami dan perlu dijelaskan. (L.Pangkat Ali)

Kamis, 09 Juli 2009

Teladan Seorang Pedagang “Bong”

Setiap orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah, demikian pendapat Ivan Illich. Bahkan dari suatu kejadian kecil dan remeh, sebuah teladan bermakna dapat dipetik. Seperti peristiwa sederhana yang pernah saya alami bersama seorang penjual “Bong” keliling, Amaq Darme namanya. Pekerjaannya sebagai penjual Bong, Amaq Darme telah menekuni profesinya selama bertahun-tahun. Setiap hari ia pikul dua bong dagangannya berjalan keliling dari desa yang satu ke desa yang lain. Jam kerja Amaq Darme sebagai penjual Bong dimulai pagi hari setelah selesai sarapan dengan segelas kopi, kadang ditemani ubi jalar rebus. Dagangan si Amaq tidak selalu laku dijual. Ia bercerita, juga pernah suatu hari kedua bongnya tidak laku dijual sementara ia telah sangat lapar dan tidak kuat untuk pulang, lalu dititipnya dagangannya pada rumah seseorang dan ia pun masih mampu melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke rumah hari itu.
Pekerjaan sebagai penjual Bong keliling ini boleh dipandang sebagai pekerjaan serba salah. Kalau dagangannya tidak laku, berarti tidak ada makan esok hari. Sementara kalau dagangannya kebetulan terbeli satu buah saja, nah ini yang unik sebagai pedagang Bong, supaya pikulannya tetap seimbang, dagangannya yang telah laku harus diganti dengan batu atau sesuatu yang bisa membuat posisi pikulannya tetap seimbang. Iseng saya berpikir, mengapa bukan posisi pikulan seperti ini yang dijadikan lambang pengadilan? Esensinya, sama-sama berupa neraca, yang harus selalu dijaga supaya tetap seimbang.
Yang ingin diceritakan dari Amaq Darme penjual Bong adalah ketika suatu hari saya membeli satu buah Bong itu. Tetapi terjadinya transaksi lebih karena rasa kasihan saja. Selain itu ada hasrat untuk menyelami kesehariannya melalui bincang-bincang yang saya rencanakan spontan. Perbincangan dan tawar menawar dimulai. Dia mematok harga Rp.25.000,- untuk setiap Bong. Dalam hati saya sudah deal dengan berapapun harga yang disebutkan, tetapi saya bermaksud mencandanya dengan mencoba memperpanjang tawar menawar seperti alotnya ibu-ibu menawar di pasar dengan menyebut Rp.20.000,- kemudian sedikit demi sedikit saya naikkan harga, mulai Rp.20.500,- menjadi Rp.21.000,- Dia pun bersedia turun dari harga awal yang disebutkan dan ketemu pada harga Rp.24.000,- Tampak sekali raut senang terpancar di wajah si penjual.
Lalu kubayar dengan uang Rp.25.000,- dan dia ternyat tidak punya uang Rp.1.000,- sebagai uang susuk yang harus dikmbalikan padaku. “Tidak ada uang “angsul” (kembalian) Bapak”, begitu katanya dengan lugu polos dan jujur. Saya pun tidak sempat menanggapi karena sedang berbasa basi dengan tetangga yang kebetulan lewat. Tanpa berkata-kata saya salami lalu dia pun siap untuk melanjutkan perjalanan kelilingnya. Dalam hati telah saya transaksikan uang Rp.1.000,- dengan mengikhlaskan untuk tidak dikembalikan. Toh cuma seribu rupiah.
Sebelum beranjak dia minta izin untuk mengambil batu yang kebetulan tergeletak di pinggir got, saya pun mengangguk seperti orang sombong karena topik pembicaraan dengan tetangga semakin asyik. Dia benar-benar meletakkan batu itu di pikulannya sebagai ganti dagangan yang telah laku untukku dan ia pun dapat melenggang karena pikulannya telah seimbang. Sebuah ‘pemandangan’ menarik, begitu kataku dalam hati. Dan ternyata tetanggaku yang orang Jawa itu pun mempunyai ketertarikan yang sama. Kami ikuti terus langkahnya berlalu sampai menghilang dari pandangan kami berdua. Susahnya orang mencari uang, kata tetanggaku yang punya rasa humor dan sosial tinggi.
Kejadian ini sudah lama berlangsung dan saya pun melupakan si Amaq, sampai tiba-tiba pada suatu hari ketika baru saja pulang kerja, saya melihat ada orang menunggu di pintu gerbang rumahku.
Lama baru ingat bahwa dialah si penjual Bong. Diawali sedikit basa basi, saya langsung mengundang canda: “Saya belum butuh Bong lagi”, sapaku bermaksud menggoda.
“Saya sudah tidak lagi menjual Bong, Bapak”, jawabnya spontan. Dengan sedikit senyum tersungging di bibirnya, dia pun melanjutkan ucapannya. “Saya berencana mencari kerja ke Malaysia” katanya. Oh bagus!! Kerja apa? Di mana? Pakai jalur resmi tidak? Langsung saya berondong dengan pertanyaan pertanyaan karena kami merasa sangat akrab. Semua pertanyaanku dijawab memuaskan.
Lalu pertanyaanku: Apa yang bisa saya buat?
Anu pak…karena Amaq sudah tidak lagi sebagai penjual Bong dan akan ke Malaysia, hari ini saya bermaksud mengembalikan uang “angsul” yang dulu belum sempat saya kembalikan.