Minggu, 17 Mei 2009

Tanggung Jawab Sosial Pariwisata Terhadap Budaya Lombok

LOMBOK pada umumnya, merupakan tujuan utama pariwisata dunia setelah Bali. Tetap diperhitungkan sebagai primadoma. Karena ada keunikan tersendiri jika berwisata ke Pulau Seribu Masjid ini. Apa keunikannya? “Di Bali, kita tidak menemukan Lombok. Tetapi di Lombok, kita menemukan Bali, terutama di Lombok ujung bagian Barat.
Jika keunikan itu tidak dijaga, bukannya mustahil. Lombok akan kehilangan predikatnya sebagai tujuan utama pariwisata. Sebab Lombok sebagai daerah tujuan wisata setelah Bali, memiliki tantangan yang semakin berat, terutama berkaitan dengan kualitas pariwisatanya ke depan. Lalu apa yang mesti dilakukan pelaku pariwisata dan pihak terkait mengenai hal ini?
Dalam kontek pariwisata Lombok, masalah promosi pariwisata seolah-olah hanya lewat promosilah pariwisata di daerah ini akan selamat dan bangkit dari keterpurukan. Mereka lupa bahwa, sebelum Lombok dirkenal seperti sekarang ini, promosi jarang dilakukan. Kalaupun ya, justru yang dipromosikan cuma wisata konvensional yang lebih menekankan wisata alam. Padahal, sesungguhnya yang menjadi ikom pariwisata Lobar, tentu harus mendapat perhatian serius. Tidak hanya perhatian sebetulnya, melainkan juga sebuah tanggung jawab yang besar.
Lalu, siapa yang mesti bertanggung jawab. Bukankah pariwisata di Lombok tidak hanya dikuasai orang Lombok yang berbudaya ke-Lombok-an? Tanggung jawab seperti apa yang diperlukan? Ini adalah merupakan wacana lama yang belum terwujud secara optimal.
Sebagai contoh rumah adat Dusun Segenter di Desa Bayan misalnya. Keberadaan rumah tradisional yang sekarang terpisah dengan Lombok Barat dan memiliki kabupaten sendiri - Kabupaten Lombok Utara (KLU), tak lagi memiliki tingkat ketradisional yang tinggi. Hampir sebagian keaslian akan rumah adat tersebut sudah terkontaminasi oleh pengaruh budaya moderen saat ini.
Menurut analisa Penulis ketika berkunjung ke obyek wisata Dusun Segenter beberapa pekan silam, terdapat sejumlah rumah moderen berbaur dengan rumah tradisional yang ada. Sebuah musholla beratap genteng dengan konstruksi semi beton, berdiri berdampingan dengan pintu masuk menuju rumah adat. Ditambah lagi sejumlah rumah beratap dan kontruksi yang sama, juga berbaur dengan rumah adat tradisional.
Kesan yang bisa penulis simpulkan, betapa kurangnya pembinaan dan tanggung jawab sosial terhadap keberadaan rumah adat tradisional Dusun Segenter ini. Padahal jika ingin belaku jujur, ada kontribusi dan asset cukup memadai dari ketradisionalannya yang dieksploitasi oleh pengelola pariwisata. Mereka hanya melakukan eksploitasi terhadap nilai-nilai budaya yang akhirnya bermuara pada PAD. Sehingga yang tampak hanyalah keenerjikan membicarakan soal promosi yang ujung-ujungnya tidak bisa dipertanggungjawabkan, ketimbang memperjuangkan berapa persen untuk pelaku budaya untuk mewariskan nilai-nilai budaya tersebut.
Kita harapkan, selepas dari kabupaten induk, semoga adanya kepedulian dan tanggung jawab sosial terhadap satu-satunya asset daerah tersebut.
Kelestarian budaya dan adat masyarakat Lombok menjadi tanggung jawab sosial pariwisata. Karena adat dan budaya tersebut menjadi konsumsi wisatawan untuk menikmatinya. Dengan demikian timbul pertanyaan, mana yang lebih epektif, mengadakan promosi atau mengadakan sebuah tanggung jawab sosial untuk melestarikan dan mengembangkan daya tarik itu sendiri?
Jadi, yang dibutuhkan adalah, bagaimana semua pihak mempersiapkan diri untuk menjadi primadona pariwisata. Termasuk di dalamnya menjaga keamanan, kualitas pariwisata, pelestarian budaya, keindahan alam serta pasilitas yang memadai. Dengan begitu, dunia internasional, media massa akan menunjukkan data dan fakta bahwa, Lombok is the best.
Secara logika, jika pariwisata Lombok menyatakan diri sebagai pariwisata budaya, mestinya budaya yang menjadikan ikom dan daya tarik itu diperhatkan oleh pihak pelaku pariwisata maupun stake holders yang ada. Sebab, rasanya ironis sekali, masyarakat Lombok yang begitu getolnya melestarikan budaya dan tradisi, namun yang dilakukan pebisnis pariwisata hanyalah, menikmati manisnya pariwisata tersebut. Tanggung jawab sosial terhadap budaya, adat dan tradisi yang terangkum dalam dunia pariwisata, bukan mustahil menjadi tanggung jawab bersama. Semoga! (L.Pangkat Ali)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar