Jumat, 15 Mei 2009

“Pengampuan”, Ritual Budaya Sasak yang Perlu Diinventarisir

Sebagai masyarakat Suku Sasak, mungkin hanya segelintir orang saja yang tahu. Mereka adalah, masyarakat Sasak yang tergabung dalam lembaga Majelis Adat Sasak (MAS). “Pengampuan” adalah, satu dari sekian macam ritual budaya Sasak yang sedang dibudayakan. Sebagai lembaga pengelola Pariwisata seni dan Budaya, pengampuan ini perlu untuk diinventarisir. Karena bagaimanapun juga, hasanah budaya, baik yang lama maupun yang baru muncul, merupakan suatu kerifan. Lebih dari itu, kemungkinan sebagai pelengkap devisa.
Makna ‘pengampuan’, berasal dari kata dasar Ampu, bermakna; menggendong atau mengayomi. Ngampu bermakna; mengambil tanggung jawab untuk mengayomi. Pengampuan bermakna; penobatan/pengangkatan seseorang yang di ampu melalui ijab kabul, antara sang Pengampu dan yang di Ampu, di syahkan oleh Krama Adat atau lembaga adat, serta disaksikan oleh segenap masyarakat adat. Setelah proses pengampuan ini, maka sang Pengampu bertanggung jawab memberikan bimbingan selayaknya orang tua terhadap anaknya. Demikian juga yang di Ampu, harus berbakti pada orang tua Pengampunya, serta taat pada titi-tata Adat Sasak Adi Luhung.
Jika mengutip pendapat budayawan Djalaludin Arzaki, Pengampuan merupakan, peralihan perwalian seseorang, dari suku lain ke susu Sasak. Ini sudah berjalan cukup lama, sejak zaman kerajaan Selaparang dan Pejanggik, pengampuan itu sudah ada. Sehingga orang-orang Jawa yang berimigrasi ke Lombok (Banjar Getas), mereka berawal dari melaksanakan ritual pengampuan ini. Mereka lebih dulu di Ampu.
Jadi, makna pengampuan menurut Djalaludin Arzaki, semacam pengalihan perwalian atau pengakuan bahwa mereka menajdi orang Sasak, sehingga dalam pelaksanaan adat Sasak itu, tidak ada lagi adanya perbedaan suku.
Sementara mengutip perndapat Drs.H.L.Azhar, maknanya adalah, dengan adanya jam-jam pada saat acara ritual pengampuan, merupakan sesuatu janji yang secara bahasa adat yang diperkuat oleh kedua belah pihak (Ratna Adi dengan Vudiane).
“Upacara Pengampuan ini merupakan norma adat,” ungkap Ketua Majelis Adat Sasak sekaligus Pengukuh utama Pengampuan, Drs.H.Lalu Azhar, belum lama ini di Mataram.
Lebih lanjut dikatakan mantan Wakil Gubernur NTB ini, pengampuan merupakan norma adat yang sejak lama tumbuh di kalangan masyarakat adat Sasak. Sumbernya dirujuk dari Kitab Lontar Raja Niti Titi Sastra. Terdapat juga rujukan dalam lontar; Serat Menak Kanin-Kaping Sapte (bagian ke tujuh), dikisahkan mengenai titi-tata atau proses upacara pengampuan ini.
Selain sebagai norma adat, pengampuan juga merupakan sebuah kearifan budaya lokal dalam rangka memperluas silaturahim, mempererat rasa kekeluargaan. Kearifan ini merupakan wujud nyata bahwa norma adat Sasak memiliki keterbukaan untuk saling menerima dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Adalah sebuah kekeliruan, apabila adat diidentikkan dengan bentuk-bentuk perilaku eksklusifisme yang kaku.
Berkenaan dengan landasan adat Sasak adalah, “Adat Luwir Gama”, yang bermakna, “Adat Bersendikan Agama”, maka sudah sepantasnya kita menelaah kembali norma adat maupun tradisi yang berlaku di tengah masyarakat. Sekiranya telah sesuai dengan landasan tersebut, maka patut dipertahankan. “Mari kita jalankan adat istiadat ini sesuai dengan kepatuhan”, lanjut Azhar di hadapan para penglingsir, sesepuh adat yang sengaja datang dari seluruh penjuru Pulau Lombok.
Menurut Ketua harian MAS, Drs.H.Mujitahid, Ritual Pengampuan ini, tidak semua orang suku Sasak mau menerima keberadaannya. Karena kata mantan Bupati Lombok Barat ini, memang semua komunitas Sasak, pemahaman tentang ritual ini tidak semua yang tahu. Untuk itu perlu diinventarisir, perlu disosialisasikan sebagai kearifan hasanah budaya lokal.
Pengampuan ini, merupakan resiko dari globalisasi. Orang Sasak tidak bisa menutup diri, artinya adat Sasak ini terbuka. Siapa saja boleh dan mau menjadi pendukung adat budaya Sasak. Namun perlu dicatat sebagai sebuah peringatan, keraifan ritual budaya pengampuan ini mesti dipandang secara benar sesuai hakikat dan maksud yang benar pula. Jangan keluar dari koridor akhlakul karimah, tidak ada hal yang disembunyikan sehingga nilai kearifan tetap terjaga.

Proses Upacara Ritual Pengampuan Adat Sasak

Sebagaimana layaknya sebuah acara sorong serah, terlebih dahulu acara dihadiri oleh semua unsur masyarakat. Tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda tetap menghadiri upacara. Sesuai undangan yang telah diberikan sang handarbe karye, biasanya dalam upacara pengampuan ini, indit atau susunan acara, didahului dengan tembang pengaksame, kemudian menghadirkan calon mempelai laki yang di Ampu, disebut “Ratna Adi” menempati arena upacara. Begitu juga diikuti oleh pihak Pengampu (calon mertua laki) yang disebut “Vudiane”. Sementara calon mertua perempuan disebut “Widiane”. Mereka juga menempati arena upacara, sambil tetap melantunkan tembang pengaksame.
Setelah pihak Ranta Adi dan Vudiane yang didampingi Widiane, baru kemudian diucapkan lapaz pengampuan. Ratna Adi atau yang di Ampu, terlebih dahulu mengucapkan istigfar tiga kali, mengucapkan kalimat sahadat, shalawat serta mengucapkan pengakuan dan kesanggupan sembari menjabat tangan Vudiane. Adapun kalimat yang diucapkan Ratna Adi adalah :

Bismillahirrohmanirrohiem...
“Saya...(sebut nama), dengan ikhlas, bermohon kepada ayahanda (sebut nama), menyerahkan diri sebagai putra ayahanda. Selanjutnya saya berjanji, untuk senantiasa patuh dan tunduk kepada ayahanda, selaku orang tua saya. Dan saya berjanji sebagai masyarakat Adat Sasak, menjunjung tinggi titi-tata, tertib tapsila, adat Sasak Adi Luhung....”
Kemudian disambut oleh sang Pengampu (vudiane) dengan ucapan :
Bismillahirrojmanirrohiem...
Dengan memanjat puji syukur kehadirat Allah swt. Pada hari ini, dengan tulus ikhlas, saya menerima (sebut nama yang di Ampu) sebagai anak saya fiddunia wal akherat.
Setelah itu pihak pemangku menanyakan sebagai kalimat penyaksian dengan ucapan : “Sampun napi para hadirin, tunas redhe pelungguh sami, sampun sah!” Dalam hal ini, para saksi yang dalam istilah Sasak disebut “subrake sane” juga turut mengucapkan ‘sah’.
Setelah Ratna Adi ngampure kepada para penglingsir adat dan vudiane serta widiane, selanjutnya penyampaian “penjam-jam” dan proses pengampuan secara adat. Kesakralan penjam-jam ini berupa tembang-tembang yang sarat dengan nasihat kepada Ratn Adi dan semua hadirin.
Berikutnya adalah, penyerahan pusake oleh Pengampu (vudiane) kepada Ratna Adi (yang di Ampu). Penyerahan pusake (biasanya keris) ini sebagai simbol telah terikatnya secara moral budaya antara Vudiane dengan Ratna Adi. Sebagai simbul satu bentuk kecintaan, pemberian semangat hidup kepada Ratna Adi oleh Vudiane. Dilanjutkan kemudian dengan pemecahan telur sebagai simbul budaya oleh Ratna Adi. Selain telur ada juga gula merah, kelapa, beras kuning, moto siong, wadah penginang kuning, sekar pamunci, air dengan kembang mayang (air kum-kuman) dengan wadah penginang kuning, beras putih, benang setokel. Semua bahan-bahan ini sebagai piranti adat yang perlu disiapkan, sekaligus sebagai penyempurnaan pengampuan adat ini.
Setalah telur diinjak dan dipecahkan oleh Ratna Adi, sebagai tanda keikhlasan menjadi pengampu, maka acara selanjutnya dilanjutkan dengan penaburan beras kuning kepada semua penglingsir adat yang ada sebagai saksi utama atau subrake utame. Selain penaburan beras kuning, juga diikuti dengan caca rambu atau uang saksi yang merupakan pengukuhan secara simbolik sebagai saksi utama dalam pengampuan. Dengan telah dibagikannya caca rambu berupa uang ini, sekaligus sebagai tanggung jawab para saksi, juga agar tidak lepas sampai pada masa-masa mendatang. Pembagian caca rambu ini, meskipun nilai nominalnya sangat sedikit (Rp.1.000), namun maknanya secara budaya, sangat banyak dan sakral. Semoga!

Penulis : Pranata Humas (PH) Lombok Barat.

2 komentar:

  1. tanks ea untuk blogx q dpt tmbhn ilmu dechhh

    BalasHapus
  2. Dalam hal muputang aji krama disebut dgn Linggihang Aji dmn org non sasak diselesaikn mnurut adat sasak perkawinannya. Kalau Non Sasak ingin mjd Sasak itu tidak bisa.

    BalasHapus