Jumat, 15 Mei 2009

Peran Majelis Adat Sasak Lombok

Tata Budaya Adat Sasak di Lombok
Peranan Lembaga Majelis Adat Sasak di Lombok

SETELAH diteliti dan dicermati, peranan Lembaga Majelis Adat Sasak di Lombok makin berkembang. Berbagai macam ungkapan akan pentingnya meneliti kembali kebudayaan, merupakan salah satu penunjang kebudayaan secara nasional, termasuk juga kebudayaan suku Sasak di Lombok.

Sejak sekian lama lembaga Majelis Adat Sasak (MAS) didirikan, tidak sedikit terdapat hal-hal yang perlu mendapat pembenahan untuk menertibkan hidup dan kehidupan berbudaya, termasuk adat dan kebiasaan sehari-hari, sudah jauh dipengaruhi oleh kebiasaan yang datang dari luar.
Dari berbagai macam upacara adat yang berlaku dan dilaksanakan di Pulau Lombok, maka adat perkawinanlah yang masih sangat dominant dilaksanakan oleh masyarakat Sasak, yaitu mulai dari merari’ sampai kepada penyelesaian selanjutnya, banyak sekali menimbulkan persoalan yang terkadang terjadi pertentangan dalam masyarakat.
Untuk itu dirasa perlu memberikan pengungkapan melalui referensi ini, dan tidak berarti untuk menggali hal-hal yang berlaku di zaman lampau, terutama zaman masyarakat feodal. Tapi yang berlaku sehari-hari sebagaimana patokan akan timbulnya bermacam-macam upacara dalam perkawinan dengan segala pengertiannya.
Terutama mengenai hukumnya, sehingga setiap perkawinan dengan segala macam upacaranya, dipatuhi oleh masyarakat. Sebagai dasar hukumnya, setiap perkawinan akan sah, jika telah melalui tiga macam hukum yaitu : Hukum Negara, Hukum Agama dan Hukum Adat.
Kendati ketiga hokum itu terpisah-pisah, yaitu hukum negara ditimbulkan dengan undang-undang negara, hokum agama memiliki aturannya sendiri dan hukum adat juga mempunyai aturan pelaksanaannya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan, dengan kata lain, jika hukum Negara saja yang dilaksanakan, maka perkawinan itu tidak sah menurut hukum agama dan sebaliknya, jika hanya hukum agama saja yang dilaksanakan, maka perkawinan itu tidak sah menurut hukum Negara. Semenyata masing-masing hukum tersebut memiliki sangsi sendiri-sendiri.
Mengenai hokum perkawinan Negara termaktub dalam undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 yang sekaligus termasuk dalam hokum agama, juga sudah memiliki ketegasan dalam pelaksanaan dan sangsinya. Dalam hal ini, yang penting diungkapkan adalah permasalahan adat dalam perkawinan suku Sasak dengan segala macam upacaranya.

Masalah Merari’
Soal merari’ dalam pengertiannya yaitu, seorang lelaki mengambil kawin seorang perempuan yang akan menjadi istrinya. Dalam pelaksanaan upacara adatnya ada beberapa tahap yaitu :
- Merari’
- Melaksananan Sejati/selabar
- Mengambil Wali
- Membait Janji
- Sorong Serah
- Nyongkol
- Balik Lampak
Mengenai merari’ mungkin tak pelu dikupas, karena masyarakat adat sudah mengetahuinya, yaitu seorang perempuan diambil kawin oleh seorang lelaki secara melarikan diri berdua. Selain cara itu, ada lagi cara yang berkembang belakangan ini ialah, secara belakoq (meminang) yang tentunya kedua cara ini dalam pelaksanaannya masing-masing berbeda. Cara yang pertama melakukan sejati/selabar dan cara kedua yaitu belakoq, langsung mengadakan perundingan bagi kedua belah pihak.
Pengertian sejati/selabar ialah, (mesejati), sebagai laporan kepada perangkat desa (kades atau kadus) bahwa di desanya telah ada orang yang melakukan merari’ untuk kemudian akan menjadi suami-istri. Sedangkan selabar, menyebarkan kepada masyarakat tentang telah merari’-nya seorang lelaki dengan seorang perempuan. Tahap selanjutnya, meminta wali kepada orang tua pihak perempuan untuk disahkan menjadi suami-istri secara Agama Islam. Meskipun soal ini tidak terpisahkan dalam tahapan pelaksanaan adat, namun pelaksanaannya murni berdasarkan Agama Islam dalam perkawinan adat Sasak.

Membait Janji
Membait Janji ini sebenarnya merupakan perundingan antara pihak keluarga pengantin lelaki dengan pihak keluarga pengantin perempuan untuk menentukan, kapan penyelesaian adat akan dilaksanakan, termasuk jumlah biaya yang diperlukan. Karena dalam peralatan itu, kedua belah pihak akan mengundang sanak keluarganya untuk menyaksikan penyelesaian adat.
Dalam perundingan ini, banyak sekali pertentangan yang terjadi, sehingga kadang-kadang terjadi perselisihan yang seru dan menyebabkan gagalnya perundingan, karena masing-masing pihak tak mau mengalah. Hal ini terjadi karena; Pihak perempuan terlalu tinggi permintaan yang diajukan kepada pihak keluarga lelaki sebagai sumbangan, Persyaratan yang tak mungkin dipenuhi oleh pihak lelaki.
Terjadinya pertentangan ini mungkin saja disebabkan, karena pihak keluarga perempuan menganggap pihak keluarga lelaki masih sebagai musuh di dalam adat, ditambah lagi, pihak keluarga perempuan terkadang lupa bahwa, perkawinan itu merupakan hal yang suci dan sakral. Dan merupakan kepentingan sosial, lalu digeser kepada kepentingan ekonomi.

Masalah gantiran
Yang kurang disadari oleh kedua belah pihak adalah, anggapan sebagai “musuh dalam adat”. Meskipun berlaku dalam hakekat yang sebenarnya setelah akad nikah diikrarkan, maka kedua belah pihak sudah terikat sebagai keluarga. Bukan saja pihak mempelai, namun kedua keluarga sudah bersambung menjadi keluarga besar.
Berunding di dalam keluarga yang tidak menganggap masing-masing pihak sebagai musuh, sekaligus kedua belah pihak sebagai partner yang memiliki tanggung jawab yang sama. Zaman lampau, soal besarnya gantiran atau pisuke, mempunyai patokan tertentu, yaitu :
- Satu ekor kerbau/sapi dewasa dan biasanya yang jantan (jagiran)
- 100 catu beras (1 catu = 2,5 – 3 kg )
- Kayu api secukupnya
- Bumbu-bumbu/ragi secukupnya
Namun sekarang, untuk praktisnya diperhitungkan dengan nilai uang yang kadang-kadang jumlahnya sangat besar, seolah-olah memaksakan bagi pihak lelaki untuk memenuhi nilai tersebut.

Masalah Denda
Masalah denda yang diterapkan dalam hukum adat Sasak, terutama yang berlaku dalam adat perkawinan dengan pengertian bahwa, setiap pelanggaran yang dilakukan dalam adat, sudah tentu memiliki sangsi dan penerapan hukumnya. Zaman dulu, banyak sekali hukuman yang diterapkan yang kadang-kadang terlalu keras, namun belakangan, sudah disesuaikan dengan keadaan. Misalnya pelanggaran yang dihukum dengan hukuman mati, sekarang cukup dengan hukuman denda pati dalam sorong serah.
Ada beberapa pelanggaran dalam adat perkawinan yang biasa berlaku adalah :
- Malagandang, berupa paksaan terhadap seorang perempuan yang tidak mau dilarikan oleh seorang lelaki.
- Merari’ Kenjelo, yaitu merari’ pada siang hari, karena merari’ itu, lazimnya pada malam hari.
Ada juga pelanggaran yang dianggap lebih enteng, misalnya :
- Babas Kuta yaitu, melewati batas desa bagi orang merari’ berlainan desanya.
- Nglengkak, yaitu seorang perempuan yang lebih muda meninggalkan kakaknya lebih dulu merari’
- Nyalin Panji, yaitu berganti-ganti utusan untuk melakukan perundingan.
Selain pelanggaran di atas, masing-masing desa memiliki istilah-istilah sendiri dalam memberikan pelanggaran. Pelanggaran yang terjadi, sangsinya merupakan semacam pembayaran denda yang dikeluarkan pada saat upacara sorong serah, yang setelah semuanya terlaksana, lalu ditutup dengan kalimat “tan onang kebaos malik” yang artinya, apa yang sudah diputuskan, tidak boleh diganggu gugat lagi.
Akhirnya kita masyarakat adat berharap kepada pemangku dan pengempu masyarakat Sasak untuk memaklumi bahwa, adat Sasak merupakan suatu pengarahan untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat Sasak. Kedua, adat Sasak tidak terlalu ketat untuk tidak dilaksanakan, karena segala persoalan akan dapat diatasi dengan musyawarah. Ketiga, merupakan tugas dan peranan Mahelis Adat Sasak untuk mempersempit dan memperkecil akibat dari pertentangan dalam masyarakat, terutama mengenai pertentangan dalam adat perkawinan yang masih banyak dipengaruhi dan dicampur aduk dengan adat dari luar. Semoga sumbangan tulisan ini bermanfaat….(L.Pangkat Ali)

1 komentar:

  1. goog writing...
    makasi ya infonya... aku cops ga pa-pa kan? buat lengkapin tugas kampus...

    ^_^

    salam kenal..
    visit my blog => catatandila.blogspot.com

    BalasHapus