Jumat, 15 Mei 2009

Kondisi Kebudayaan Sasak Era Pariwisata Lombok

Kondisi Kebudayaan Sasak Dalam Era Pariwisata

Tak ada yang tahu pasti, berapa banyak orang yang melakukan perjalanan wisata dengan tujuan fenomena spiritualistik. Kendati belakangan dikenal istilah wisata budaya. Kalau kita telusuri, mereka melakukan perjalanan wisata sebenarnya tidak terlepas dari dorongan spiritualistik yang dapat menggugah suasana kejiwaan. Lalu bagaimana kondisi kebudayaan Sasak dalam era pariwisata?

Kebudayaan pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak pernah jelas bingkai formatnya, karena format tersebut terbentuk lewat proses dialektika antara berbagai penawaran dan tantangan, mengusahakan dan mencoba membentuk sosok format.
Sebagai contoh, kebudayaan Sasak dalam perjalanan sejarah juga mengalami transportasi, penyesuaian dan akomodasi. Setiap kelompok masyarakat memiliki manipestasi rasa seninya masing-masing yang terwujud dalam bentuk seni tari, seni suara, seni lukis, seni drama dan lain-lain yang telah memperkaya daerah seribu masjid ini.
Perkembangannya sangat pesat, memenuhi keperluan dalam upacara-upacara adat dan hiburan. Namun, akibat majunya teknologi dan kesempatan ekonomi, masyarakat tidak lagi menganggap kesenian (gamelan) pada saat pesta berlangsung, tapi cukup dengan memutar audio tape recorder saja.
Seni gamelan dan seni tari di Lombok pada beberapa dekade yang lalu, berangsur-angsur berkurang bersamaan dengan pesatnya perkembangan agama dan meningkatnya kesadaran beriman dari lapisan masyarakat. Dengan demikian, mereka menganggap bahwa, memainkan gamelan adalah suatu pekerjaan yang sia-sia dan melalaikan orang dari mengerjakan ibadah. Hal yang sama, juga seni “tembang” di kalangan suku Sasak, nampaknya semakin surut, karena generasi-generasi mudanya hampir tidak ada lagi berminat untuk mempelajarinya.
Realitas yang menonjol pula adalah, dengan adanya mobilitas masyarakat, maka terjadi interaksi antara kebudayaan masyarakat yang satu denga kebudayaan masyarakat lainnya. Dalam interaksi itu terjadi proses saling belajar-mengajar, saling membanding dan saling mengkritik.
Kebudayaan dewasa ini diidentikkan dengan kebudayaan barat, karena kebudayaan baratlah yang kini telah memiliki kekuasaan dan keunggulan progresif dan mampu untuk mempengaruhi kebudayaan lain dengan amat dahsyat. Tak terlepas juga kebudayaan yang ada di daerah kita Lombok Barat yang Patuh Patut Patju
Dampak pariwisata terhadap kelestarian kebudayaan tertentu, banyak terungkap dari berbagai kalangan. Kebudayaan Sasak misalkan. Kondisinya saat ini dapat dikatakan belum siap untuk menghadapi era perkembangan pariwisata. Hampir sebagian besar wisatawan yang datang ke Lombok menyatakan keluhannya karena belum adanya pementasan kesenian secara kontinyu yang dapat mereka saksikan. Demikian pula keluhan-keluhan yang disampaikan oleh biro-biro perjalanan wisata yang mengatur paket-paket tour para wisatawan. Kesenjangan lebih dirasakan, karena Lombok begitu dekatnya dengan Bali, dimana atraksi-atraksi kesenian telah dikemas secara professional dengan pementasan-pementasan yang sudah terjadwal rapi.
Kenyataan itu terjadi, karena belum adanya tempat-tempat pementasan yang memadai terutama yang berada di jalur-jalur wisata yang potensial seperti jalur antara Senggigi menuju pantai Kuta di Lombok Tengah sana. Kondisi ini saat ini, dirasa sudah terbengkalai. Padahal potensi kesenian yang dapat ditampilkan hampir terdapat di tiap-tiap desa/kecamatan di Pulau Lombok merupakan hasil pembinaan yang telah dilakukan selama ini.
Beberapa hotel bintang di Senggigi dan Kuta, telah mencoba untuk mementaskan kesenian Sasak secara berkala. Namun masih dikeluhkan kualitasnya kurang memadai dari segi penampilannya. Dan bahkan biaya untuk pementasan dirasakan masih terlalu mahal.
Jadi, bagi wisatawan yang tidak menginap di hotel tersebut, sulit rasanya dapat menyaksikan pentas budaya yang ditampilkan oleh hotel bintang tersebut.
Dari kenyataan itu, dirasakan oleh wisatawan bahwa kehidupan malam masih sangat tidak memadai, sebab sekembalinya mereka ke hotel setelah melakukan tour seharian, pada malam harinya tidak ada lagi sesuatu yang mereka dapat saksikan. Demikian pula dalam rangkaian tour mereka, tidak dijumpai titik-titik persinggahan sebagai tempat mereka menyaksikan atraksi-atraksi kesenian, sehinga jarak tempuh dari sau obyek ke obyek wisata yang lain terasa jauh.
Hasil seni yang sudah cukup berkembang dewasa ini, hanya kerajian berupa cenderamata (gerabah) yang dapat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi peningkatan pendapatan masyarakat pengrajin.
Jika mengkaitkan pariwisataa dengan kebudayaan tertentu, perlu dibedakan adanya dua faktor yaitu, faktor ekstrinsik dan intristik. Faktor ekstrinsik, meliputi tingkah laku para wisatawan (wisman) seperti bertelanjang, kebebasan seksual, kebiasaan minum-minuman keras, sikap angkuh dan egois dan sejenisnya. Menurut mereka, semua itu dipandang lumrah. Sementara dimata kita, hal itu tidak layak, bahkan tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Faktor intristik; segala gagasan dan pola tingkah laku dalam menyambut wisatawan. Terlihat dalam faktor ini, olah budaya yang terpenggal, karena disesuaikan dengan ketersediaan waktu para wisatawan yang terbatas. Belum lagi dengan merubah budaya yang bersifat ritual untuk dipentaskan, sehingga terjadi kegiatan budaya komersial yang boleh disebut budaya peragaan.
Menghadapi faktor ekstrinsik di atas, maka kita sebagai daerah yang ingin mengandalkan pariwisata sebagai pemasok pendapatan, perlu segera ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh wisatawan di daerah ini. Dengan menetapkan lokasi-lokasi yang terisolir dari lingkungan masyarakat sekitar sebagai lokasi wisata, dapat diperlonggar dari aturan-aturan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Lombok Barat memiliki peluang kelonggaran yang cukup besar, kendati sangat kecil sekali kesenian-kesenian yang sifatnya magisreligius. (L.Pangkat Ali).

1 komentar:

  1. Ritual "Pengampuan" ini, di Lombok masih tergolong baru. Ritual ini pertama kali saya saksikan ketika berlangsungnya acara nikahnya Putri Drs.HL.Mudjitahid dengan salah seorang putra asal luar suku Sasak (Jawa) yang tidak kufu (sejajar) dengan keluarga calon mempelai putri. Jadi, kesimpulannya, terlalu gampang mengangkat tingkat kasta suku lain bisa sejajar dengan kasta Sasak (utama maupun madya). Semoga Majelis Adat Sasak (MAS) mensosialisasikannya kepada masyarakat, terutama kepada suku sasak kasta utama dan madya.

    BalasHapus