Jumat, 15 Mei 2009

Asal Mula "Kopang" (Versi Lalu Syafii)

Asal Mula Desa Kopang (Versi Lalu Syafii)

Asal mula adanya Kopang, diungkap berdasarkan suatu percakapan antara tiga orang budayawan. Mereka adalah Lalu Syafii (Desa Kopang), Lalu Mungguh (Almarhum) dari Kota Mataram dan Gde Parman (Almarhum) dari Lombok Barat. Mereka bertiga terlibat percapakan, berselisih pendapat, apa sebenarnya menjadi dasar sehingga muncul Kopang?
Menurut penuturan Lalu Syafii, dalam percakapan tersebut, para budayawan ini mengungkapkan pendapat dan versi masing-masing. Lalu Mungguh (almarhum) mengeluarkan pendapat, konon katanya, ada sebuah kampung di Sumatrea yang bernama kampung Kopang. Mungkin karena ada famili atau handai tolan, sehingga ada diantara mereka yang datang ke Kopang ini. Dengan begitu, kemungkinan ada ide dari mereka yang menamakannyan Kopang. Begitu pendapat Lalu Mungguh.
Sementara Gde Parman (almarhum) memiliki versi lain. Menurut beliau pernah mendengar adanya satu pohon yang namanya pohon Kopang. Tapi pohon tersebut tak diketahui pasti, entah berada dimana.
“Baiklah,” kata Lalu Syafii. “Berarti kita semua berbeda pendapat,” lanjutnya. Versi Lalu Syafii sendiri, yang lebih dapat dibuktikan sekarang. Sementara pendapat kedua almarhum budayawan tersebut, belum diketahui adanya pembuktian.
Dikatakan mantan anggota DPRD Lombok Tengah ini, Kopang itu berasal dari sebuah istilah, ‘kope’ yang berarti ‘unggul’ Cuma ditambah huruf ‘ang’ menjadi ‘Kopang’. Itu menurut kosa kata bahasa Sasak, sesutu yang ditekankan maknanya, lalu huruf ‘e’ yang ada di depannya berubah menjadi ‘a’ ditambah dengan huruf ‘ng’. Jadi Kopang itu, merupakan suatu jawaban pengakuan diri dalam berhadapan dengan orang lain.
Sebagai suatu ilustrasi percakapan, “kok beraninya kamu berlaku sedemikian itu? Bagaimana kopenya”?
“O…, Kopang ko!”
Inilah suatu bukti monumentasi. Kalau itu yang dimaksud dengan sumber pembuktian adanya nama Kopang. Bukti lain lagi apa? Ke‘kope’an Kopang itu dibuktikan dengan adanya salah seorang ‘Pepadu Perisean’ (jagoan dalam olah raga magis rakyat Sasak-Lombok) yang dilarang oleh pemerintah zaman dulu, hanya berada di Kopang. Pepadu tersebut bernama Bapen Tijah dari Bakan.
Memang banyak pepadu kala itu. Tapi kenapa pepadu yang dari Kopang yang harus dilarang. Karena di arena, suatu ketika perisean digelar, lawan Bapen Tijah, langsung meninggal dunia akibat pukulan dan hantaman rotan Bapen Tijah. Jadi, pemerintah saat itu melarang, Bapen Tijah tidak boleh lagi turun sebagai pepadu.
Bukti lain yang disebutkan Lalu Syafii, jauh sebelum itu, dalam soal peperangan misalnya. Raden Wiracandra dari Praya yang konon katanya begitu ‘kope’ sampai-sampai bisa mengangkat puluhan ton barang, hanya menggunakan tangan kiri. Namun toh akhirnya bisa terbunuh oleh pepadu dari Kopang, yaitu Jero Wirasari yang membunuh Raden Wirecandra dalam siap puputan (semacam sayembara) di Bodak.
Saat itu bertindaklah Praya. Diadakan lagi puputan, untuk mencari siapa yang benar dan salah. Kedua pucuk pimpinan ini sudah menyatakan ikrar. Siapa yang salah, dia yang harus mati.
Ketika Praya menyerang Kopang, ternyata yang menjadi korban kala itu hanya orang-orang Praya. Jadi, Praya sudah merasa salah kaprah. Mereka menyesal. Dan untuk menebus korban yang begitu banyak, akhirnya kedua pucuk pimpinan mengadakan lagi siap puputan. Namun Praya, dibawah pimpinan Wiracandra berhasil terbunuh oleh Jero Wiresari. Berarti saat itu Wirecandralah yang bersalah.
Itulah suatu monumentasi besar yang membenarkan adanya ‘kope’ yang dimaksudkan adalah ‘Kopang’ itu. Cuma negatifnya, komentar Lalu Syafii, kenapa tidak dinamakan ‘kope’ saja. Tapi karena, ya itu tadi, ‘kopang’nya itu sudah bernada pengakuan diri. Semestinya orang lain yang harus mengakui keunggulan lawan, bukan dirinya sendiri. “Itu sedikit negatifnya,” papar lelaki separuh tua itu terbata-bata.
Tapi itu wajar pada saat adanya persoalan keras yang ujung-ujung emosi. Seperti yang pernah terjadi, “kita sedang enak-enak tidur, lalu dibakar oleh Praya,” ceritanya sembari memaparkan, Kopang dianggap terlalu membeo ke pemerintah Bali kala itu. Dianggap penghianat. Sementara Praya saat itu sedang saling intip dan bersitegang dengan pemerintah Bali.
Gara-gara Raden Wiracandra dipanggil oleh Pemerintah Bali untuk dihukum, saat itulah Kopang dianggapnya yang punya ulah, tapi ternyata tidak demikian. Yang lebih dulu dipanggil saat itu adalah pemerintah Mantang di bawah pimpinan Jero Buru, karena dianggap bersalah, maka terbunuhlan oleh Kerajaan Bali di bawah pimpinan Anak Agung.
“Ini ada riwayatnya,” cetusnya. Bali setelah menyadari pertikaian dalam wilayah kekuasaannya itu, antara suku Sasak saat itu sukar mereda. Dan dinilai bernuansa Sara. Lalu pemerintah Bali melahirkan ide. Agar langgengnya roda pemerintahannya, salah seorang putra raja Bali akan dikhitan lalu masuk Islam. Putra satu-satunya yang didapat dari Dende Loyangsari, putri seorang Dende dari Kalijaga yang bernama Datu Pangeran yang akan ditetapkan sebagai raja di Lombok.
Saat itu di Peresak (batas antara Kopang dengan Mantang) diadakan gawe besar. Mantang dan Kopang menjadi inen gawe (tuan rumah) dalam acara tersebut. Nah, ketika itu dendamnya Raden Wiracandra terhadap pemerintah Bali masih berkecamuk. Akhirnya dia bikin akal dan inisiatif. Tengah malam mereka mengirim surat kepada dua pucuk pimpinan Kopang dan Mantang. Isi suratnya bernada ancaman dan sudah tentu akan membias ke pemerintah Bali.
Rencana acara gawe untuk menyunat putra Bali, akhirnya digagalkan, karena Kopang dan Mantang saat itu dianggap bersekongkol dengan Praya. Anak Agung akhirnya diboyong ke Mataram. Jero Buru dari Mantang dipanggil dan dibunuh di Cakra.
Seharusnya Jero Wiresari dari Kopang juga harus dipanggil pemerintah Bali. Tapi entah karena pertimbangan lain, justru yang dipanggil adalah Raden Wiracandra yang mengakibatkan kemarahan yang luar biasa bagi Raden Wirecandra. “Kalau begitu, Jero Wiresari juga penghianat, harus titangkap,” begitu kira-kira ungkapan kemurkaan Raden Wiracandra.
Akhirnya pihak Praya menggempur Kopang. Bukannya memenuhi panggilan pemerintah Bali, namun membakar Kopang. Tapi Kopang saat itu dapat mengalahkan Praya dan mundur sampai di Bodak dan membikin pondok di Gawah Gandor sampai mereka bertahan ditempat ini dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Bahkan Jero Wirasari dari Kopang, juga ikut mengantar jenazah Raden Wirecandra langsung ke Praya. Dalam perang kesatria oleh Jero Wirasari, langsung kepada keluarga raden Wirecandra ditanyakan, siapa lagi yang mau tampil menggempur Kopang. Namun jawaban dari keluarga Raden Wirecandra, tidak ada lagi yang mau tampil. Sudah cukup dengan dia (Raden Wirecandra) saja.
“Kisah ini saya tahu, karena Jero Wiresari, itu ‘baloq’ saya,” kenang Lalu Syafii sambil menunjukkan makamnya sekarang berada di Pemenang, Lombok Utara, karena dibunuh oleh Anak Agung dalam sebuah pertempuran di Pememang-KLU.

3 komentar: