Minggu, 17 Mei 2009

Tanggung Jawab Sosial Pariwisata Terhadap Budaya Lombok

LOMBOK pada umumnya, merupakan tujuan utama pariwisata dunia setelah Bali. Tetap diperhitungkan sebagai primadoma. Karena ada keunikan tersendiri jika berwisata ke Pulau Seribu Masjid ini. Apa keunikannya? “Di Bali, kita tidak menemukan Lombok. Tetapi di Lombok, kita menemukan Bali, terutama di Lombok ujung bagian Barat.
Jika keunikan itu tidak dijaga, bukannya mustahil. Lombok akan kehilangan predikatnya sebagai tujuan utama pariwisata. Sebab Lombok sebagai daerah tujuan wisata setelah Bali, memiliki tantangan yang semakin berat, terutama berkaitan dengan kualitas pariwisatanya ke depan. Lalu apa yang mesti dilakukan pelaku pariwisata dan pihak terkait mengenai hal ini?
Dalam kontek pariwisata Lombok, masalah promosi pariwisata seolah-olah hanya lewat promosilah pariwisata di daerah ini akan selamat dan bangkit dari keterpurukan. Mereka lupa bahwa, sebelum Lombok dirkenal seperti sekarang ini, promosi jarang dilakukan. Kalaupun ya, justru yang dipromosikan cuma wisata konvensional yang lebih menekankan wisata alam. Padahal, sesungguhnya yang menjadi ikom pariwisata Lobar, tentu harus mendapat perhatian serius. Tidak hanya perhatian sebetulnya, melainkan juga sebuah tanggung jawab yang besar.
Lalu, siapa yang mesti bertanggung jawab. Bukankah pariwisata di Lombok tidak hanya dikuasai orang Lombok yang berbudaya ke-Lombok-an? Tanggung jawab seperti apa yang diperlukan? Ini adalah merupakan wacana lama yang belum terwujud secara optimal.
Sebagai contoh rumah adat Dusun Segenter di Desa Bayan misalnya. Keberadaan rumah tradisional yang sekarang terpisah dengan Lombok Barat dan memiliki kabupaten sendiri - Kabupaten Lombok Utara (KLU), tak lagi memiliki tingkat ketradisional yang tinggi. Hampir sebagian keaslian akan rumah adat tersebut sudah terkontaminasi oleh pengaruh budaya moderen saat ini.
Menurut analisa Penulis ketika berkunjung ke obyek wisata Dusun Segenter beberapa pekan silam, terdapat sejumlah rumah moderen berbaur dengan rumah tradisional yang ada. Sebuah musholla beratap genteng dengan konstruksi semi beton, berdiri berdampingan dengan pintu masuk menuju rumah adat. Ditambah lagi sejumlah rumah beratap dan kontruksi yang sama, juga berbaur dengan rumah adat tradisional.
Kesan yang bisa penulis simpulkan, betapa kurangnya pembinaan dan tanggung jawab sosial terhadap keberadaan rumah adat tradisional Dusun Segenter ini. Padahal jika ingin belaku jujur, ada kontribusi dan asset cukup memadai dari ketradisionalannya yang dieksploitasi oleh pengelola pariwisata. Mereka hanya melakukan eksploitasi terhadap nilai-nilai budaya yang akhirnya bermuara pada PAD. Sehingga yang tampak hanyalah keenerjikan membicarakan soal promosi yang ujung-ujungnya tidak bisa dipertanggungjawabkan, ketimbang memperjuangkan berapa persen untuk pelaku budaya untuk mewariskan nilai-nilai budaya tersebut.
Kita harapkan, selepas dari kabupaten induk, semoga adanya kepedulian dan tanggung jawab sosial terhadap satu-satunya asset daerah tersebut.
Kelestarian budaya dan adat masyarakat Lombok menjadi tanggung jawab sosial pariwisata. Karena adat dan budaya tersebut menjadi konsumsi wisatawan untuk menikmatinya. Dengan demikian timbul pertanyaan, mana yang lebih epektif, mengadakan promosi atau mengadakan sebuah tanggung jawab sosial untuk melestarikan dan mengembangkan daya tarik itu sendiri?
Jadi, yang dibutuhkan adalah, bagaimana semua pihak mempersiapkan diri untuk menjadi primadona pariwisata. Termasuk di dalamnya menjaga keamanan, kualitas pariwisata, pelestarian budaya, keindahan alam serta pasilitas yang memadai. Dengan begitu, dunia internasional, media massa akan menunjukkan data dan fakta bahwa, Lombok is the best.
Secara logika, jika pariwisata Lombok menyatakan diri sebagai pariwisata budaya, mestinya budaya yang menjadikan ikom dan daya tarik itu diperhatkan oleh pihak pelaku pariwisata maupun stake holders yang ada. Sebab, rasanya ironis sekali, masyarakat Lombok yang begitu getolnya melestarikan budaya dan tradisi, namun yang dilakukan pebisnis pariwisata hanyalah, menikmati manisnya pariwisata tersebut. Tanggung jawab sosial terhadap budaya, adat dan tradisi yang terangkum dalam dunia pariwisata, bukan mustahil menjadi tanggung jawab bersama. Semoga! (L.Pangkat Ali)

Jumat, 15 Mei 2009

“Pengampuan”, Ritual Budaya Sasak yang Perlu Diinventarisir

Sebagai masyarakat Suku Sasak, mungkin hanya segelintir orang saja yang tahu. Mereka adalah, masyarakat Sasak yang tergabung dalam lembaga Majelis Adat Sasak (MAS). “Pengampuan” adalah, satu dari sekian macam ritual budaya Sasak yang sedang dibudayakan. Sebagai lembaga pengelola Pariwisata seni dan Budaya, pengampuan ini perlu untuk diinventarisir. Karena bagaimanapun juga, hasanah budaya, baik yang lama maupun yang baru muncul, merupakan suatu kerifan. Lebih dari itu, kemungkinan sebagai pelengkap devisa.
Makna ‘pengampuan’, berasal dari kata dasar Ampu, bermakna; menggendong atau mengayomi. Ngampu bermakna; mengambil tanggung jawab untuk mengayomi. Pengampuan bermakna; penobatan/pengangkatan seseorang yang di ampu melalui ijab kabul, antara sang Pengampu dan yang di Ampu, di syahkan oleh Krama Adat atau lembaga adat, serta disaksikan oleh segenap masyarakat adat. Setelah proses pengampuan ini, maka sang Pengampu bertanggung jawab memberikan bimbingan selayaknya orang tua terhadap anaknya. Demikian juga yang di Ampu, harus berbakti pada orang tua Pengampunya, serta taat pada titi-tata Adat Sasak Adi Luhung.
Jika mengutip pendapat budayawan Djalaludin Arzaki, Pengampuan merupakan, peralihan perwalian seseorang, dari suku lain ke susu Sasak. Ini sudah berjalan cukup lama, sejak zaman kerajaan Selaparang dan Pejanggik, pengampuan itu sudah ada. Sehingga orang-orang Jawa yang berimigrasi ke Lombok (Banjar Getas), mereka berawal dari melaksanakan ritual pengampuan ini. Mereka lebih dulu di Ampu.
Jadi, makna pengampuan menurut Djalaludin Arzaki, semacam pengalihan perwalian atau pengakuan bahwa mereka menajdi orang Sasak, sehingga dalam pelaksanaan adat Sasak itu, tidak ada lagi adanya perbedaan suku.
Sementara mengutip perndapat Drs.H.L.Azhar, maknanya adalah, dengan adanya jam-jam pada saat acara ritual pengampuan, merupakan sesuatu janji yang secara bahasa adat yang diperkuat oleh kedua belah pihak (Ratna Adi dengan Vudiane).
“Upacara Pengampuan ini merupakan norma adat,” ungkap Ketua Majelis Adat Sasak sekaligus Pengukuh utama Pengampuan, Drs.H.Lalu Azhar, belum lama ini di Mataram.
Lebih lanjut dikatakan mantan Wakil Gubernur NTB ini, pengampuan merupakan norma adat yang sejak lama tumbuh di kalangan masyarakat adat Sasak. Sumbernya dirujuk dari Kitab Lontar Raja Niti Titi Sastra. Terdapat juga rujukan dalam lontar; Serat Menak Kanin-Kaping Sapte (bagian ke tujuh), dikisahkan mengenai titi-tata atau proses upacara pengampuan ini.
Selain sebagai norma adat, pengampuan juga merupakan sebuah kearifan budaya lokal dalam rangka memperluas silaturahim, mempererat rasa kekeluargaan. Kearifan ini merupakan wujud nyata bahwa norma adat Sasak memiliki keterbukaan untuk saling menerima dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Adalah sebuah kekeliruan, apabila adat diidentikkan dengan bentuk-bentuk perilaku eksklusifisme yang kaku.
Berkenaan dengan landasan adat Sasak adalah, “Adat Luwir Gama”, yang bermakna, “Adat Bersendikan Agama”, maka sudah sepantasnya kita menelaah kembali norma adat maupun tradisi yang berlaku di tengah masyarakat. Sekiranya telah sesuai dengan landasan tersebut, maka patut dipertahankan. “Mari kita jalankan adat istiadat ini sesuai dengan kepatuhan”, lanjut Azhar di hadapan para penglingsir, sesepuh adat yang sengaja datang dari seluruh penjuru Pulau Lombok.
Menurut Ketua harian MAS, Drs.H.Mujitahid, Ritual Pengampuan ini, tidak semua orang suku Sasak mau menerima keberadaannya. Karena kata mantan Bupati Lombok Barat ini, memang semua komunitas Sasak, pemahaman tentang ritual ini tidak semua yang tahu. Untuk itu perlu diinventarisir, perlu disosialisasikan sebagai kearifan hasanah budaya lokal.
Pengampuan ini, merupakan resiko dari globalisasi. Orang Sasak tidak bisa menutup diri, artinya adat Sasak ini terbuka. Siapa saja boleh dan mau menjadi pendukung adat budaya Sasak. Namun perlu dicatat sebagai sebuah peringatan, keraifan ritual budaya pengampuan ini mesti dipandang secara benar sesuai hakikat dan maksud yang benar pula. Jangan keluar dari koridor akhlakul karimah, tidak ada hal yang disembunyikan sehingga nilai kearifan tetap terjaga.

Proses Upacara Ritual Pengampuan Adat Sasak

Sebagaimana layaknya sebuah acara sorong serah, terlebih dahulu acara dihadiri oleh semua unsur masyarakat. Tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda tetap menghadiri upacara. Sesuai undangan yang telah diberikan sang handarbe karye, biasanya dalam upacara pengampuan ini, indit atau susunan acara, didahului dengan tembang pengaksame, kemudian menghadirkan calon mempelai laki yang di Ampu, disebut “Ratna Adi” menempati arena upacara. Begitu juga diikuti oleh pihak Pengampu (calon mertua laki) yang disebut “Vudiane”. Sementara calon mertua perempuan disebut “Widiane”. Mereka juga menempati arena upacara, sambil tetap melantunkan tembang pengaksame.
Setelah pihak Ranta Adi dan Vudiane yang didampingi Widiane, baru kemudian diucapkan lapaz pengampuan. Ratna Adi atau yang di Ampu, terlebih dahulu mengucapkan istigfar tiga kali, mengucapkan kalimat sahadat, shalawat serta mengucapkan pengakuan dan kesanggupan sembari menjabat tangan Vudiane. Adapun kalimat yang diucapkan Ratna Adi adalah :

Bismillahirrohmanirrohiem...
“Saya...(sebut nama), dengan ikhlas, bermohon kepada ayahanda (sebut nama), menyerahkan diri sebagai putra ayahanda. Selanjutnya saya berjanji, untuk senantiasa patuh dan tunduk kepada ayahanda, selaku orang tua saya. Dan saya berjanji sebagai masyarakat Adat Sasak, menjunjung tinggi titi-tata, tertib tapsila, adat Sasak Adi Luhung....”
Kemudian disambut oleh sang Pengampu (vudiane) dengan ucapan :
Bismillahirrojmanirrohiem...
Dengan memanjat puji syukur kehadirat Allah swt. Pada hari ini, dengan tulus ikhlas, saya menerima (sebut nama yang di Ampu) sebagai anak saya fiddunia wal akherat.
Setelah itu pihak pemangku menanyakan sebagai kalimat penyaksian dengan ucapan : “Sampun napi para hadirin, tunas redhe pelungguh sami, sampun sah!” Dalam hal ini, para saksi yang dalam istilah Sasak disebut “subrake sane” juga turut mengucapkan ‘sah’.
Setelah Ratna Adi ngampure kepada para penglingsir adat dan vudiane serta widiane, selanjutnya penyampaian “penjam-jam” dan proses pengampuan secara adat. Kesakralan penjam-jam ini berupa tembang-tembang yang sarat dengan nasihat kepada Ratn Adi dan semua hadirin.
Berikutnya adalah, penyerahan pusake oleh Pengampu (vudiane) kepada Ratna Adi (yang di Ampu). Penyerahan pusake (biasanya keris) ini sebagai simbol telah terikatnya secara moral budaya antara Vudiane dengan Ratna Adi. Sebagai simbul satu bentuk kecintaan, pemberian semangat hidup kepada Ratna Adi oleh Vudiane. Dilanjutkan kemudian dengan pemecahan telur sebagai simbul budaya oleh Ratna Adi. Selain telur ada juga gula merah, kelapa, beras kuning, moto siong, wadah penginang kuning, sekar pamunci, air dengan kembang mayang (air kum-kuman) dengan wadah penginang kuning, beras putih, benang setokel. Semua bahan-bahan ini sebagai piranti adat yang perlu disiapkan, sekaligus sebagai penyempurnaan pengampuan adat ini.
Setalah telur diinjak dan dipecahkan oleh Ratna Adi, sebagai tanda keikhlasan menjadi pengampu, maka acara selanjutnya dilanjutkan dengan penaburan beras kuning kepada semua penglingsir adat yang ada sebagai saksi utama atau subrake utame. Selain penaburan beras kuning, juga diikuti dengan caca rambu atau uang saksi yang merupakan pengukuhan secara simbolik sebagai saksi utama dalam pengampuan. Dengan telah dibagikannya caca rambu berupa uang ini, sekaligus sebagai tanggung jawab para saksi, juga agar tidak lepas sampai pada masa-masa mendatang. Pembagian caca rambu ini, meskipun nilai nominalnya sangat sedikit (Rp.1.000), namun maknanya secara budaya, sangat banyak dan sakral. Semoga!

Penulis : Pranata Humas (PH) Lombok Barat.

Kondisi Kebudayaan Sasak Era Pariwisata Lombok

Kondisi Kebudayaan Sasak Dalam Era Pariwisata

Tak ada yang tahu pasti, berapa banyak orang yang melakukan perjalanan wisata dengan tujuan fenomena spiritualistik. Kendati belakangan dikenal istilah wisata budaya. Kalau kita telusuri, mereka melakukan perjalanan wisata sebenarnya tidak terlepas dari dorongan spiritualistik yang dapat menggugah suasana kejiwaan. Lalu bagaimana kondisi kebudayaan Sasak dalam era pariwisata?

Kebudayaan pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak pernah jelas bingkai formatnya, karena format tersebut terbentuk lewat proses dialektika antara berbagai penawaran dan tantangan, mengusahakan dan mencoba membentuk sosok format.
Sebagai contoh, kebudayaan Sasak dalam perjalanan sejarah juga mengalami transportasi, penyesuaian dan akomodasi. Setiap kelompok masyarakat memiliki manipestasi rasa seninya masing-masing yang terwujud dalam bentuk seni tari, seni suara, seni lukis, seni drama dan lain-lain yang telah memperkaya daerah seribu masjid ini.
Perkembangannya sangat pesat, memenuhi keperluan dalam upacara-upacara adat dan hiburan. Namun, akibat majunya teknologi dan kesempatan ekonomi, masyarakat tidak lagi menganggap kesenian (gamelan) pada saat pesta berlangsung, tapi cukup dengan memutar audio tape recorder saja.
Seni gamelan dan seni tari di Lombok pada beberapa dekade yang lalu, berangsur-angsur berkurang bersamaan dengan pesatnya perkembangan agama dan meningkatnya kesadaran beriman dari lapisan masyarakat. Dengan demikian, mereka menganggap bahwa, memainkan gamelan adalah suatu pekerjaan yang sia-sia dan melalaikan orang dari mengerjakan ibadah. Hal yang sama, juga seni “tembang” di kalangan suku Sasak, nampaknya semakin surut, karena generasi-generasi mudanya hampir tidak ada lagi berminat untuk mempelajarinya.
Realitas yang menonjol pula adalah, dengan adanya mobilitas masyarakat, maka terjadi interaksi antara kebudayaan masyarakat yang satu denga kebudayaan masyarakat lainnya. Dalam interaksi itu terjadi proses saling belajar-mengajar, saling membanding dan saling mengkritik.
Kebudayaan dewasa ini diidentikkan dengan kebudayaan barat, karena kebudayaan baratlah yang kini telah memiliki kekuasaan dan keunggulan progresif dan mampu untuk mempengaruhi kebudayaan lain dengan amat dahsyat. Tak terlepas juga kebudayaan yang ada di daerah kita Lombok Barat yang Patuh Patut Patju
Dampak pariwisata terhadap kelestarian kebudayaan tertentu, banyak terungkap dari berbagai kalangan. Kebudayaan Sasak misalkan. Kondisinya saat ini dapat dikatakan belum siap untuk menghadapi era perkembangan pariwisata. Hampir sebagian besar wisatawan yang datang ke Lombok menyatakan keluhannya karena belum adanya pementasan kesenian secara kontinyu yang dapat mereka saksikan. Demikian pula keluhan-keluhan yang disampaikan oleh biro-biro perjalanan wisata yang mengatur paket-paket tour para wisatawan. Kesenjangan lebih dirasakan, karena Lombok begitu dekatnya dengan Bali, dimana atraksi-atraksi kesenian telah dikemas secara professional dengan pementasan-pementasan yang sudah terjadwal rapi.
Kenyataan itu terjadi, karena belum adanya tempat-tempat pementasan yang memadai terutama yang berada di jalur-jalur wisata yang potensial seperti jalur antara Senggigi menuju pantai Kuta di Lombok Tengah sana. Kondisi ini saat ini, dirasa sudah terbengkalai. Padahal potensi kesenian yang dapat ditampilkan hampir terdapat di tiap-tiap desa/kecamatan di Pulau Lombok merupakan hasil pembinaan yang telah dilakukan selama ini.
Beberapa hotel bintang di Senggigi dan Kuta, telah mencoba untuk mementaskan kesenian Sasak secara berkala. Namun masih dikeluhkan kualitasnya kurang memadai dari segi penampilannya. Dan bahkan biaya untuk pementasan dirasakan masih terlalu mahal.
Jadi, bagi wisatawan yang tidak menginap di hotel tersebut, sulit rasanya dapat menyaksikan pentas budaya yang ditampilkan oleh hotel bintang tersebut.
Dari kenyataan itu, dirasakan oleh wisatawan bahwa kehidupan malam masih sangat tidak memadai, sebab sekembalinya mereka ke hotel setelah melakukan tour seharian, pada malam harinya tidak ada lagi sesuatu yang mereka dapat saksikan. Demikian pula dalam rangkaian tour mereka, tidak dijumpai titik-titik persinggahan sebagai tempat mereka menyaksikan atraksi-atraksi kesenian, sehinga jarak tempuh dari sau obyek ke obyek wisata yang lain terasa jauh.
Hasil seni yang sudah cukup berkembang dewasa ini, hanya kerajian berupa cenderamata (gerabah) yang dapat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi peningkatan pendapatan masyarakat pengrajin.
Jika mengkaitkan pariwisataa dengan kebudayaan tertentu, perlu dibedakan adanya dua faktor yaitu, faktor ekstrinsik dan intristik. Faktor ekstrinsik, meliputi tingkah laku para wisatawan (wisman) seperti bertelanjang, kebebasan seksual, kebiasaan minum-minuman keras, sikap angkuh dan egois dan sejenisnya. Menurut mereka, semua itu dipandang lumrah. Sementara dimata kita, hal itu tidak layak, bahkan tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Faktor intristik; segala gagasan dan pola tingkah laku dalam menyambut wisatawan. Terlihat dalam faktor ini, olah budaya yang terpenggal, karena disesuaikan dengan ketersediaan waktu para wisatawan yang terbatas. Belum lagi dengan merubah budaya yang bersifat ritual untuk dipentaskan, sehingga terjadi kegiatan budaya komersial yang boleh disebut budaya peragaan.
Menghadapi faktor ekstrinsik di atas, maka kita sebagai daerah yang ingin mengandalkan pariwisata sebagai pemasok pendapatan, perlu segera ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh wisatawan di daerah ini. Dengan menetapkan lokasi-lokasi yang terisolir dari lingkungan masyarakat sekitar sebagai lokasi wisata, dapat diperlonggar dari aturan-aturan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Lombok Barat memiliki peluang kelonggaran yang cukup besar, kendati sangat kecil sekali kesenian-kesenian yang sifatnya magisreligius. (L.Pangkat Ali).

Peran Majelis Adat Sasak Lombok

Tata Budaya Adat Sasak di Lombok
Peranan Lembaga Majelis Adat Sasak di Lombok

SETELAH diteliti dan dicermati, peranan Lembaga Majelis Adat Sasak di Lombok makin berkembang. Berbagai macam ungkapan akan pentingnya meneliti kembali kebudayaan, merupakan salah satu penunjang kebudayaan secara nasional, termasuk juga kebudayaan suku Sasak di Lombok.

Sejak sekian lama lembaga Majelis Adat Sasak (MAS) didirikan, tidak sedikit terdapat hal-hal yang perlu mendapat pembenahan untuk menertibkan hidup dan kehidupan berbudaya, termasuk adat dan kebiasaan sehari-hari, sudah jauh dipengaruhi oleh kebiasaan yang datang dari luar.
Dari berbagai macam upacara adat yang berlaku dan dilaksanakan di Pulau Lombok, maka adat perkawinanlah yang masih sangat dominant dilaksanakan oleh masyarakat Sasak, yaitu mulai dari merari’ sampai kepada penyelesaian selanjutnya, banyak sekali menimbulkan persoalan yang terkadang terjadi pertentangan dalam masyarakat.
Untuk itu dirasa perlu memberikan pengungkapan melalui referensi ini, dan tidak berarti untuk menggali hal-hal yang berlaku di zaman lampau, terutama zaman masyarakat feodal. Tapi yang berlaku sehari-hari sebagaimana patokan akan timbulnya bermacam-macam upacara dalam perkawinan dengan segala pengertiannya.
Terutama mengenai hukumnya, sehingga setiap perkawinan dengan segala macam upacaranya, dipatuhi oleh masyarakat. Sebagai dasar hukumnya, setiap perkawinan akan sah, jika telah melalui tiga macam hukum yaitu : Hukum Negara, Hukum Agama dan Hukum Adat.
Kendati ketiga hokum itu terpisah-pisah, yaitu hukum negara ditimbulkan dengan undang-undang negara, hokum agama memiliki aturannya sendiri dan hukum adat juga mempunyai aturan pelaksanaannya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan, dengan kata lain, jika hukum Negara saja yang dilaksanakan, maka perkawinan itu tidak sah menurut hukum agama dan sebaliknya, jika hanya hukum agama saja yang dilaksanakan, maka perkawinan itu tidak sah menurut hukum Negara. Semenyata masing-masing hukum tersebut memiliki sangsi sendiri-sendiri.
Mengenai hokum perkawinan Negara termaktub dalam undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 yang sekaligus termasuk dalam hokum agama, juga sudah memiliki ketegasan dalam pelaksanaan dan sangsinya. Dalam hal ini, yang penting diungkapkan adalah permasalahan adat dalam perkawinan suku Sasak dengan segala macam upacaranya.

Masalah Merari’
Soal merari’ dalam pengertiannya yaitu, seorang lelaki mengambil kawin seorang perempuan yang akan menjadi istrinya. Dalam pelaksanaan upacara adatnya ada beberapa tahap yaitu :
- Merari’
- Melaksananan Sejati/selabar
- Mengambil Wali
- Membait Janji
- Sorong Serah
- Nyongkol
- Balik Lampak
Mengenai merari’ mungkin tak pelu dikupas, karena masyarakat adat sudah mengetahuinya, yaitu seorang perempuan diambil kawin oleh seorang lelaki secara melarikan diri berdua. Selain cara itu, ada lagi cara yang berkembang belakangan ini ialah, secara belakoq (meminang) yang tentunya kedua cara ini dalam pelaksanaannya masing-masing berbeda. Cara yang pertama melakukan sejati/selabar dan cara kedua yaitu belakoq, langsung mengadakan perundingan bagi kedua belah pihak.
Pengertian sejati/selabar ialah, (mesejati), sebagai laporan kepada perangkat desa (kades atau kadus) bahwa di desanya telah ada orang yang melakukan merari’ untuk kemudian akan menjadi suami-istri. Sedangkan selabar, menyebarkan kepada masyarakat tentang telah merari’-nya seorang lelaki dengan seorang perempuan. Tahap selanjutnya, meminta wali kepada orang tua pihak perempuan untuk disahkan menjadi suami-istri secara Agama Islam. Meskipun soal ini tidak terpisahkan dalam tahapan pelaksanaan adat, namun pelaksanaannya murni berdasarkan Agama Islam dalam perkawinan adat Sasak.

Membait Janji
Membait Janji ini sebenarnya merupakan perundingan antara pihak keluarga pengantin lelaki dengan pihak keluarga pengantin perempuan untuk menentukan, kapan penyelesaian adat akan dilaksanakan, termasuk jumlah biaya yang diperlukan. Karena dalam peralatan itu, kedua belah pihak akan mengundang sanak keluarganya untuk menyaksikan penyelesaian adat.
Dalam perundingan ini, banyak sekali pertentangan yang terjadi, sehingga kadang-kadang terjadi perselisihan yang seru dan menyebabkan gagalnya perundingan, karena masing-masing pihak tak mau mengalah. Hal ini terjadi karena; Pihak perempuan terlalu tinggi permintaan yang diajukan kepada pihak keluarga lelaki sebagai sumbangan, Persyaratan yang tak mungkin dipenuhi oleh pihak lelaki.
Terjadinya pertentangan ini mungkin saja disebabkan, karena pihak keluarga perempuan menganggap pihak keluarga lelaki masih sebagai musuh di dalam adat, ditambah lagi, pihak keluarga perempuan terkadang lupa bahwa, perkawinan itu merupakan hal yang suci dan sakral. Dan merupakan kepentingan sosial, lalu digeser kepada kepentingan ekonomi.

Masalah gantiran
Yang kurang disadari oleh kedua belah pihak adalah, anggapan sebagai “musuh dalam adat”. Meskipun berlaku dalam hakekat yang sebenarnya setelah akad nikah diikrarkan, maka kedua belah pihak sudah terikat sebagai keluarga. Bukan saja pihak mempelai, namun kedua keluarga sudah bersambung menjadi keluarga besar.
Berunding di dalam keluarga yang tidak menganggap masing-masing pihak sebagai musuh, sekaligus kedua belah pihak sebagai partner yang memiliki tanggung jawab yang sama. Zaman lampau, soal besarnya gantiran atau pisuke, mempunyai patokan tertentu, yaitu :
- Satu ekor kerbau/sapi dewasa dan biasanya yang jantan (jagiran)
- 100 catu beras (1 catu = 2,5 – 3 kg )
- Kayu api secukupnya
- Bumbu-bumbu/ragi secukupnya
Namun sekarang, untuk praktisnya diperhitungkan dengan nilai uang yang kadang-kadang jumlahnya sangat besar, seolah-olah memaksakan bagi pihak lelaki untuk memenuhi nilai tersebut.

Masalah Denda
Masalah denda yang diterapkan dalam hukum adat Sasak, terutama yang berlaku dalam adat perkawinan dengan pengertian bahwa, setiap pelanggaran yang dilakukan dalam adat, sudah tentu memiliki sangsi dan penerapan hukumnya. Zaman dulu, banyak sekali hukuman yang diterapkan yang kadang-kadang terlalu keras, namun belakangan, sudah disesuaikan dengan keadaan. Misalnya pelanggaran yang dihukum dengan hukuman mati, sekarang cukup dengan hukuman denda pati dalam sorong serah.
Ada beberapa pelanggaran dalam adat perkawinan yang biasa berlaku adalah :
- Malagandang, berupa paksaan terhadap seorang perempuan yang tidak mau dilarikan oleh seorang lelaki.
- Merari’ Kenjelo, yaitu merari’ pada siang hari, karena merari’ itu, lazimnya pada malam hari.
Ada juga pelanggaran yang dianggap lebih enteng, misalnya :
- Babas Kuta yaitu, melewati batas desa bagi orang merari’ berlainan desanya.
- Nglengkak, yaitu seorang perempuan yang lebih muda meninggalkan kakaknya lebih dulu merari’
- Nyalin Panji, yaitu berganti-ganti utusan untuk melakukan perundingan.
Selain pelanggaran di atas, masing-masing desa memiliki istilah-istilah sendiri dalam memberikan pelanggaran. Pelanggaran yang terjadi, sangsinya merupakan semacam pembayaran denda yang dikeluarkan pada saat upacara sorong serah, yang setelah semuanya terlaksana, lalu ditutup dengan kalimat “tan onang kebaos malik” yang artinya, apa yang sudah diputuskan, tidak boleh diganggu gugat lagi.
Akhirnya kita masyarakat adat berharap kepada pemangku dan pengempu masyarakat Sasak untuk memaklumi bahwa, adat Sasak merupakan suatu pengarahan untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat Sasak. Kedua, adat Sasak tidak terlalu ketat untuk tidak dilaksanakan, karena segala persoalan akan dapat diatasi dengan musyawarah. Ketiga, merupakan tugas dan peranan Mahelis Adat Sasak untuk mempersempit dan memperkecil akibat dari pertentangan dalam masyarakat, terutama mengenai pertentangan dalam adat perkawinan yang masih banyak dipengaruhi dan dicampur aduk dengan adat dari luar. Semoga sumbangan tulisan ini bermanfaat….(L.Pangkat Ali)

Asal Mula "Kopang" (Versi Lalu Syafii)

Asal Mula Desa Kopang (Versi Lalu Syafii)

Asal mula adanya Kopang, diungkap berdasarkan suatu percakapan antara tiga orang budayawan. Mereka adalah Lalu Syafii (Desa Kopang), Lalu Mungguh (Almarhum) dari Kota Mataram dan Gde Parman (Almarhum) dari Lombok Barat. Mereka bertiga terlibat percapakan, berselisih pendapat, apa sebenarnya menjadi dasar sehingga muncul Kopang?
Menurut penuturan Lalu Syafii, dalam percakapan tersebut, para budayawan ini mengungkapkan pendapat dan versi masing-masing. Lalu Mungguh (almarhum) mengeluarkan pendapat, konon katanya, ada sebuah kampung di Sumatrea yang bernama kampung Kopang. Mungkin karena ada famili atau handai tolan, sehingga ada diantara mereka yang datang ke Kopang ini. Dengan begitu, kemungkinan ada ide dari mereka yang menamakannyan Kopang. Begitu pendapat Lalu Mungguh.
Sementara Gde Parman (almarhum) memiliki versi lain. Menurut beliau pernah mendengar adanya satu pohon yang namanya pohon Kopang. Tapi pohon tersebut tak diketahui pasti, entah berada dimana.
“Baiklah,” kata Lalu Syafii. “Berarti kita semua berbeda pendapat,” lanjutnya. Versi Lalu Syafii sendiri, yang lebih dapat dibuktikan sekarang. Sementara pendapat kedua almarhum budayawan tersebut, belum diketahui adanya pembuktian.
Dikatakan mantan anggota DPRD Lombok Tengah ini, Kopang itu berasal dari sebuah istilah, ‘kope’ yang berarti ‘unggul’ Cuma ditambah huruf ‘ang’ menjadi ‘Kopang’. Itu menurut kosa kata bahasa Sasak, sesutu yang ditekankan maknanya, lalu huruf ‘e’ yang ada di depannya berubah menjadi ‘a’ ditambah dengan huruf ‘ng’. Jadi Kopang itu, merupakan suatu jawaban pengakuan diri dalam berhadapan dengan orang lain.
Sebagai suatu ilustrasi percakapan, “kok beraninya kamu berlaku sedemikian itu? Bagaimana kopenya”?
“O…, Kopang ko!”
Inilah suatu bukti monumentasi. Kalau itu yang dimaksud dengan sumber pembuktian adanya nama Kopang. Bukti lain lagi apa? Ke‘kope’an Kopang itu dibuktikan dengan adanya salah seorang ‘Pepadu Perisean’ (jagoan dalam olah raga magis rakyat Sasak-Lombok) yang dilarang oleh pemerintah zaman dulu, hanya berada di Kopang. Pepadu tersebut bernama Bapen Tijah dari Bakan.
Memang banyak pepadu kala itu. Tapi kenapa pepadu yang dari Kopang yang harus dilarang. Karena di arena, suatu ketika perisean digelar, lawan Bapen Tijah, langsung meninggal dunia akibat pukulan dan hantaman rotan Bapen Tijah. Jadi, pemerintah saat itu melarang, Bapen Tijah tidak boleh lagi turun sebagai pepadu.
Bukti lain yang disebutkan Lalu Syafii, jauh sebelum itu, dalam soal peperangan misalnya. Raden Wiracandra dari Praya yang konon katanya begitu ‘kope’ sampai-sampai bisa mengangkat puluhan ton barang, hanya menggunakan tangan kiri. Namun toh akhirnya bisa terbunuh oleh pepadu dari Kopang, yaitu Jero Wirasari yang membunuh Raden Wirecandra dalam siap puputan (semacam sayembara) di Bodak.
Saat itu bertindaklah Praya. Diadakan lagi puputan, untuk mencari siapa yang benar dan salah. Kedua pucuk pimpinan ini sudah menyatakan ikrar. Siapa yang salah, dia yang harus mati.
Ketika Praya menyerang Kopang, ternyata yang menjadi korban kala itu hanya orang-orang Praya. Jadi, Praya sudah merasa salah kaprah. Mereka menyesal. Dan untuk menebus korban yang begitu banyak, akhirnya kedua pucuk pimpinan mengadakan lagi siap puputan. Namun Praya, dibawah pimpinan Wiracandra berhasil terbunuh oleh Jero Wiresari. Berarti saat itu Wirecandralah yang bersalah.
Itulah suatu monumentasi besar yang membenarkan adanya ‘kope’ yang dimaksudkan adalah ‘Kopang’ itu. Cuma negatifnya, komentar Lalu Syafii, kenapa tidak dinamakan ‘kope’ saja. Tapi karena, ya itu tadi, ‘kopang’nya itu sudah bernada pengakuan diri. Semestinya orang lain yang harus mengakui keunggulan lawan, bukan dirinya sendiri. “Itu sedikit negatifnya,” papar lelaki separuh tua itu terbata-bata.
Tapi itu wajar pada saat adanya persoalan keras yang ujung-ujung emosi. Seperti yang pernah terjadi, “kita sedang enak-enak tidur, lalu dibakar oleh Praya,” ceritanya sembari memaparkan, Kopang dianggap terlalu membeo ke pemerintah Bali kala itu. Dianggap penghianat. Sementara Praya saat itu sedang saling intip dan bersitegang dengan pemerintah Bali.
Gara-gara Raden Wiracandra dipanggil oleh Pemerintah Bali untuk dihukum, saat itulah Kopang dianggapnya yang punya ulah, tapi ternyata tidak demikian. Yang lebih dulu dipanggil saat itu adalah pemerintah Mantang di bawah pimpinan Jero Buru, karena dianggap bersalah, maka terbunuhlan oleh Kerajaan Bali di bawah pimpinan Anak Agung.
“Ini ada riwayatnya,” cetusnya. Bali setelah menyadari pertikaian dalam wilayah kekuasaannya itu, antara suku Sasak saat itu sukar mereda. Dan dinilai bernuansa Sara. Lalu pemerintah Bali melahirkan ide. Agar langgengnya roda pemerintahannya, salah seorang putra raja Bali akan dikhitan lalu masuk Islam. Putra satu-satunya yang didapat dari Dende Loyangsari, putri seorang Dende dari Kalijaga yang bernama Datu Pangeran yang akan ditetapkan sebagai raja di Lombok.
Saat itu di Peresak (batas antara Kopang dengan Mantang) diadakan gawe besar. Mantang dan Kopang menjadi inen gawe (tuan rumah) dalam acara tersebut. Nah, ketika itu dendamnya Raden Wiracandra terhadap pemerintah Bali masih berkecamuk. Akhirnya dia bikin akal dan inisiatif. Tengah malam mereka mengirim surat kepada dua pucuk pimpinan Kopang dan Mantang. Isi suratnya bernada ancaman dan sudah tentu akan membias ke pemerintah Bali.
Rencana acara gawe untuk menyunat putra Bali, akhirnya digagalkan, karena Kopang dan Mantang saat itu dianggap bersekongkol dengan Praya. Anak Agung akhirnya diboyong ke Mataram. Jero Buru dari Mantang dipanggil dan dibunuh di Cakra.
Seharusnya Jero Wiresari dari Kopang juga harus dipanggil pemerintah Bali. Tapi entah karena pertimbangan lain, justru yang dipanggil adalah Raden Wiracandra yang mengakibatkan kemarahan yang luar biasa bagi Raden Wirecandra. “Kalau begitu, Jero Wiresari juga penghianat, harus titangkap,” begitu kira-kira ungkapan kemurkaan Raden Wiracandra.
Akhirnya pihak Praya menggempur Kopang. Bukannya memenuhi panggilan pemerintah Bali, namun membakar Kopang. Tapi Kopang saat itu dapat mengalahkan Praya dan mundur sampai di Bodak dan membikin pondok di Gawah Gandor sampai mereka bertahan ditempat ini dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Bahkan Jero Wirasari dari Kopang, juga ikut mengantar jenazah Raden Wirecandra langsung ke Praya. Dalam perang kesatria oleh Jero Wirasari, langsung kepada keluarga raden Wirecandra ditanyakan, siapa lagi yang mau tampil menggempur Kopang. Namun jawaban dari keluarga Raden Wirecandra, tidak ada lagi yang mau tampil. Sudah cukup dengan dia (Raden Wirecandra) saja.
“Kisah ini saya tahu, karena Jero Wiresari, itu ‘baloq’ saya,” kenang Lalu Syafii sambil menunjukkan makamnya sekarang berada di Pemenang, Lombok Utara, karena dibunuh oleh Anak Agung dalam sebuah pertempuran di Pememang-KLU.