Kamis, 09 Juli 2009

Teladan Seorang Pedagang “Bong”

Setiap orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah, demikian pendapat Ivan Illich. Bahkan dari suatu kejadian kecil dan remeh, sebuah teladan bermakna dapat dipetik. Seperti peristiwa sederhana yang pernah saya alami bersama seorang penjual “Bong” keliling, Amaq Darme namanya. Pekerjaannya sebagai penjual Bong, Amaq Darme telah menekuni profesinya selama bertahun-tahun. Setiap hari ia pikul dua bong dagangannya berjalan keliling dari desa yang satu ke desa yang lain. Jam kerja Amaq Darme sebagai penjual Bong dimulai pagi hari setelah selesai sarapan dengan segelas kopi, kadang ditemani ubi jalar rebus. Dagangan si Amaq tidak selalu laku dijual. Ia bercerita, juga pernah suatu hari kedua bongnya tidak laku dijual sementara ia telah sangat lapar dan tidak kuat untuk pulang, lalu dititipnya dagangannya pada rumah seseorang dan ia pun masih mampu melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke rumah hari itu.
Pekerjaan sebagai penjual Bong keliling ini boleh dipandang sebagai pekerjaan serba salah. Kalau dagangannya tidak laku, berarti tidak ada makan esok hari. Sementara kalau dagangannya kebetulan terbeli satu buah saja, nah ini yang unik sebagai pedagang Bong, supaya pikulannya tetap seimbang, dagangannya yang telah laku harus diganti dengan batu atau sesuatu yang bisa membuat posisi pikulannya tetap seimbang. Iseng saya berpikir, mengapa bukan posisi pikulan seperti ini yang dijadikan lambang pengadilan? Esensinya, sama-sama berupa neraca, yang harus selalu dijaga supaya tetap seimbang.
Yang ingin diceritakan dari Amaq Darme penjual Bong adalah ketika suatu hari saya membeli satu buah Bong itu. Tetapi terjadinya transaksi lebih karena rasa kasihan saja. Selain itu ada hasrat untuk menyelami kesehariannya melalui bincang-bincang yang saya rencanakan spontan. Perbincangan dan tawar menawar dimulai. Dia mematok harga Rp.25.000,- untuk setiap Bong. Dalam hati saya sudah deal dengan berapapun harga yang disebutkan, tetapi saya bermaksud mencandanya dengan mencoba memperpanjang tawar menawar seperti alotnya ibu-ibu menawar di pasar dengan menyebut Rp.20.000,- kemudian sedikit demi sedikit saya naikkan harga, mulai Rp.20.500,- menjadi Rp.21.000,- Dia pun bersedia turun dari harga awal yang disebutkan dan ketemu pada harga Rp.24.000,- Tampak sekali raut senang terpancar di wajah si penjual.
Lalu kubayar dengan uang Rp.25.000,- dan dia ternyat tidak punya uang Rp.1.000,- sebagai uang susuk yang harus dikmbalikan padaku. “Tidak ada uang “angsul” (kembalian) Bapak”, begitu katanya dengan lugu polos dan jujur. Saya pun tidak sempat menanggapi karena sedang berbasa basi dengan tetangga yang kebetulan lewat. Tanpa berkata-kata saya salami lalu dia pun siap untuk melanjutkan perjalanan kelilingnya. Dalam hati telah saya transaksikan uang Rp.1.000,- dengan mengikhlaskan untuk tidak dikembalikan. Toh cuma seribu rupiah.
Sebelum beranjak dia minta izin untuk mengambil batu yang kebetulan tergeletak di pinggir got, saya pun mengangguk seperti orang sombong karena topik pembicaraan dengan tetangga semakin asyik. Dia benar-benar meletakkan batu itu di pikulannya sebagai ganti dagangan yang telah laku untukku dan ia pun dapat melenggang karena pikulannya telah seimbang. Sebuah ‘pemandangan’ menarik, begitu kataku dalam hati. Dan ternyata tetanggaku yang orang Jawa itu pun mempunyai ketertarikan yang sama. Kami ikuti terus langkahnya berlalu sampai menghilang dari pandangan kami berdua. Susahnya orang mencari uang, kata tetanggaku yang punya rasa humor dan sosial tinggi.
Kejadian ini sudah lama berlangsung dan saya pun melupakan si Amaq, sampai tiba-tiba pada suatu hari ketika baru saja pulang kerja, saya melihat ada orang menunggu di pintu gerbang rumahku.
Lama baru ingat bahwa dialah si penjual Bong. Diawali sedikit basa basi, saya langsung mengundang canda: “Saya belum butuh Bong lagi”, sapaku bermaksud menggoda.
“Saya sudah tidak lagi menjual Bong, Bapak”, jawabnya spontan. Dengan sedikit senyum tersungging di bibirnya, dia pun melanjutkan ucapannya. “Saya berencana mencari kerja ke Malaysia” katanya. Oh bagus!! Kerja apa? Di mana? Pakai jalur resmi tidak? Langsung saya berondong dengan pertanyaan pertanyaan karena kami merasa sangat akrab. Semua pertanyaanku dijawab memuaskan.
Lalu pertanyaanku: Apa yang bisa saya buat?
Anu pak…karena Amaq sudah tidak lagi sebagai penjual Bong dan akan ke Malaysia, hari ini saya bermaksud mengembalikan uang “angsul” yang dulu belum sempat saya kembalikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar